Jakarta, CNN Indonesia -- Pakar perkotaan dari Universitas Trisakti Yayat Supriatna menilai penggusuran yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terhadap warga Kampung Pulo, Jatinegara, Jakarta Timur, menyisakan banyak persoalan.
Yayat mengatakan langkah penggusuran yang tidak dibarengi dengan program pendampingan ekonomi bagi warga yang dipindah ke rumah susun memunculkan masalah baru.
Menurut Yayat persoalan yang sebenarnya bukan pada warga yang menolak untuk direlokasi namun bagaimana keberlanjutan kehidupan di rumah susun terkait dengan masalah ekonomi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Apakah dengan tinggal di rusun warga bisa untuk berusaha. Apa ada program-program pendampingan dari Dinas Sosial, Dinas Tenaga Kerja atau Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM),” ujar Yayat kepada CNN Indonesia, Ahad (23/8).
Yayat menyatakan hal-hal yang menyangkut perekonomian untuk kehidupan warga yang tinggal di rumah susun menjadi kegalauan yang belum mendapat jawaban kepastian dari Ahok.
“Seburuk-buruknya rumah mereka di Kampung Pulo, mereka tidak mengontrak. Mereka juga bisa buka usaha kecil-kecilan seperti membuka warung di depan rumah,” tutur Yayat. (Baca:
Sengkarut Keadilan yang Diharapkan Warga Bantaran)
Selain itu, Yayat berujar, warga tidak dibebani dengan biaya sewa seperti di rumah susun yang perbulannya mencapai Rp 300 ribu. “Kalau di Rusun Marunda warga yang direlokasi mendapat free enam bulan, kalau di rusun Jatinegara bagaimana, apa seperti itu,” kata Yayat.
Yayat menekankan pentingnya pemerintah provinsi DKI Jakarta memperhatikan pemberdayaan warga yang direlokasi ke rumah susun. “Warga ingin mendapat pendampingan dan penguatan setelah tinggal di rusun bukan hanya fasilitas yang bagus di rusun,” ucapnya.
Jadi, kata Yayat, bagaimana Gubernur Ahok bisa menjamin orang miskin bisa hidup terjamin di rumah susun. “Tidak ditinggalkan begitu saja setelah direlokasi. Itu yang membuat mereka cemas sehingga melawan ketika dipindahkan,” ujarnya.
Yayat melanjutkan, warga juga mengkhawatirkan banyaknya aturan di rumah susun selain kewajiban membayar segala macam kebutuhan sehingga harus ada pendapatan lebih. (Baca:
Relokasi Warga Bukan Solusi Atasi Banjir)
“Mereka hanya ingin dimanusiakan. Memindahkan warga bukan seperti mau perang tapi harus melalui pendakatan budaya. Ini soal memindahkan orang bukan barang,” tutur Yayat.
Dia menambahkan, normalisasi Kali Ciliwung adalah suatu keharusan namun menormalkan kehidupan masyarakat merupakan suatu kewajiban. “Jadi kehidupan warga harus lebih baik setelah direlokasi,” kata Yayat.
(obs)