Jakarta, CNN Indonesia -- Di bawah terik matahari, Kholid Miqdar sibuk mengecek aplikasi yang dipasang di telepon selulernya. Ketua Front Kebangkitan Petani dan Nelayan ini memantau perjalanan dua kapal besar pengeruk pasir yang beroperasi di laut Serang Utara, Banten.
"Vox Maxima sekarang ini sudah balik ke Jakarta, tapi Queen of Netherlands lagi jalan ke sini abis bongkar pasir," ujar Kholid sebelum pergi ke Teluk Serang, Rabu (27/4).
Kholid hafal jadwal operasi dua kapal tersebut. Siang dan malam kapal-kapal itu bolak-balik bergantian mengeruk pasir. Menurut Kholid, penambangan pasir laut di sekitar Lontar dan perairan Pulau Tunda digunakan untuk reklamasi pulau-pulau buatan di Teluk Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akibat penambangan, warga yang tinggal di pesisir Serang mengalami kerugian luar biasa. Ratusan kepala keluarga kehilangan pekerjaannya sebagai nelayan, petani tambak, dan petani rumput laut. Ratusan hektar tambak telah rata dengan laut, terkena abrasi akibat operasi kapal-kapal pengeruk pasir.
"Sekarang penghasilan buat beli solar (kapal) saja enggak cukup. Penyebabnya penambangan pasir di wilayah kami untuk dijual di Teluk Jakarta," kata lelaki 40 tahun itu.
Kholid mengajak rombongan wartawan dan komunitas budaya asal Jakarta ke lokasi yang terkena dampak abrasi. Perjalanan ditempuh sekira sepuluh menit dengan menggunakan kapal mesin berukuran kecil. Kami mendarat di Desa Susukan, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang.
Air laut keruh kecoklatan menggenangi kawasan bekas tambak. Tak ada gundukan tanah yang menjadi tanggul pembatas tambak. Hanya tersisa barisan bambu yang masih menancap di laut. Bangunan bekas gubuk tenggelam di lautan.
Madsirad, 58 tahun, petani tambak, kini bekerja serabutan. Dia terpaksa menjual tambak delapan hektarnya lantaran merugi. Bahkan dia seolah tak peduli menjual lahannya dengan harga murah, Rp2000 per meter persegi.
Warga sekitar dibayangi ketakutan yang sama dengan Madsirad. Pengerukan pasir yang dilakukan terus-menerus berdampak penyusutan pasir di sekitar pesisir. Lahan tambak semakin lama rata dengan laut. Perlahan, warga kehilangan lahan tambaknya, meskipun sertifikat tanah masih di tangan.
"Saya yakin tahun depan tanah yang kita injak ini akan habis dan tambak-tambak ini akan bergeser ke laut," ujar Madsirad di lokasi tambak.
Sejumlah nelayan terpaksa mendorong perahu di Teluk Serang, Banten. Perairan menjadi dangkal oleh abrasi air laut akibat pengerukan pasir bawah laut oleh kapal tongkang. (CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Sebelum ada penambangan pasir, petani tambak mampu menyekolahkan anaknya hingga tingkat atas. Bahkan banyak warga yang pergi haji dari hasil budidaya bandeng di tambak. Kini untuk menyekolahkan anak mereka kesulitan. Kemampuan mereka sebatas tingkat sekolah dasar.
Tibyani, 35 tahun, sebelumnya mampu mengantongi Rp4-5 juta per bulan dari keuntungan bersih sebagai petani rumput laut. Kini dia harus berusaha keras untuk memperoleh untung. Keruhnya air laut di pesisir Serang berdampak pada menurunnya hasil panen rumput laut.
"Sekarang Rp1 juta saja susah, rumputnya yang dihasilkan jelek," katanya.
Kapal Queen of Netherlands terlihat jelas dari pesisir Desa Susukan. Jaraknya tak lebih dari dua ratus mil. Beberapa nelayan mengantar awak media untuk mendekati kapal tersebut demi mengambil gambar.
Selama empat jam kapal itu beroperasi mengeruk pasir di sekitar perairan Lontar. Menjelang petang, kapal itu balik ke kandang.
Melawan Kapal BesarBeberapa waktu sebelumnya, para nelayan setempat berusaha mengusir kapal-kapal pengeruk pasir ilegal. Tak jarang pula aksi pengusiran itu mendapat perlawanan balik dari pihak kapal besar.
Raudi, pemuda 23 tahun, bercerita tentang pengalamannya ikut dalam aksi pengusiran empat tahun silam. Dia ditembak di bagian pantat. Dua kawan lainnya juga terkena tembakan peluru aparat di bagian pelipis mata dan paha.
"Waktu itu kejadiannya malam, kami berusaha mengusir kapal pengeruk pasir ilegal," kata Raudi. Mereka yang ditembak hingga kini tak gentar melakukan perlawanan.
Di lokasi tambak yang berdampingan dengan bibir pantai, para petani dan nelayan menggelar diskusi dengan tamu yang datang dari Jakarta. Beberapa di antaranya perwakilan dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan sejarawan.
 Nelayan merapikan spanduk demontrasi warga Desa Susukan di perairan Teluk Serang, Banten. (CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Duduk berlesehan di atas terpal, mereka saling bertukar pengalaman. Kholid mengatakan, proses penambangan pasir, menurutnya telah berlangsung sejak 2004. Semakin lama, dampak buruk pengerukan itu mulai dirasakan warga. Lima tahun kemudian penduduk setempat mulai mengkaji dan melakukan perlawanan.
"Dari pengalaman itu kami belajar persoalan administrasi, saya tahu penambangan pasir ini jelas ilegal," kata Kholid.
Surat Keputusan Bupati Serang Nomor 540/kep-68-HUK/2003, yang diterbitkan pada 21 Februari 2003, diyakini menjadi awal dimulainya pengerukan pasir. Saat itu Kabupaten Serang dipimpin Bupati Bunyamin.
Penerus Bunyamin ikut meneruskan perpanjangan izin. Hingga pada 2015, Dinas Pertambangan Provinsi Banten kembali memperpanjang izin pengerukan pasir tersebut.
Tercatat ada enam perusahaan yang diberi izin menambang pasir di pesisir Serang. PT Jetstar melakukan penambangan di perairan Lontar, area nelayan menangkap ikan, sejak 2003. Sepuluh tahun kemudian, PT Hamparan Laut Sejahtera, PT Anugerah Tirta Bumi, dan PT Pandu Khatulistiwa beroperasi di perairan Pulau Tunda, Serang.
Sejak Maret 2016, ada dua perusahaan yang melakukan uji coba penambangan pasir, yaitu Koperasi Tirta Niaga Pantura dan PT Moga Cemerlang Abadi di perairan Sangiyang, Kabupaten Serang.
Hasil pengerukan pasir di pesisir Serang dijual kepada PT QPH Integrasi.
Perusahaan ini sebagai pemasok pasir untuk reklamasi Pantai Indah Kapuk, reklamasi Pulau C di Teluk Jakarta. Diketahui, pelaksana proyek tersebut adalah PT Kapuk Naga Indah milik Sugianto Kusuma alias Aguan. Sementara reklamasi Pulau G dikerjakan oleh PT Muara Wisesa Samudra, anak usaha PT Agung Podomoro Land.
"Yang kita lawan ini adalah raksasa. Enak saja kami yang kena abrasi hilang hektaran lahan, mereka makan seenaknya," kata Kholid.
Dalam kesempatan diskusi itu, pengacara publik LBH Jakarta Tigor Hutapea juga menyampaikan keluhan yang dialami nelayan dan warga pesisir Teluk Jakarta. Menurutnya, gencarnya pembangunan reklamasi di Indonesia akan mengincar banyak wilayah yang menjadi sasaran pengembang.
"Ada banyak jeritan di pesisir dari Jakarta hingga Serang, jeritan ini harus disatukan agar semakin keras suaranya, karena reklamasi tidak banyak bermanfaat," ujar Tigor.
[Gambas:Video CNN] (pit)