Jakarta, CNN Indonesia -- Mahkamah Agung enggan mempublikasikan jawaban mereka terhadap permintaan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo tentang penafsiran pasal 83 ayat 1 UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah.
Merujuk ketentuan itu, Tjahjo berkeras tidak menonaktifkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang kini berstatus terdakwa kasus dugaan penodaan agama.
Hakim yustisial pada Biro Hukum dan Humas MA Witanto mengatakan, Kami pekan lalu lembaganya telah membahas permintaan Tjahjo. Witanto berkata, secara etis Tjahjo merupakan pihak yang berwenang menyampaikan jawaban MA terhadap tafsir pasal 83 ayat 1 UU Pemda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Permintaan fatwa itu memang sudah dibahas, tapi MA tidak bisa mempublikasikan isinya karena Kemdagri adalah pihak yang meminta," ujarnya melalui pesan singkat, Senin (20/2).
Terpisah, Tjahjo menyatakan telah menerima surat jawaban atas permintaannya. Namun ia menyebut surat itu tidak untuk konsumsi publik. "Surat MA rahasia. Tidak bisa saya umumkan, tapi sudah saya terima," tuturnya.
Tjahjo mengatakan, MA tidak memberikan tafsiran terhadap pasal yang dipersoalkan sejumlah kelompok tersebut. MA, kata Tjahjo, beralasan sidang kasus penodaan agama yang menjerat Ahok masih berlangsung.
Apapun jawaban MA terhadap permintaannya, Tjahjo mengaku tetap akan menghormati badan peradilan tertinggi tersebut.
Ketua MA Hatta Ali sebelumnya menuturkan, lembaganya harus mempertimbangkan dampak negatif dan positif dari fatwa yang mereka keluarkan. Ia berkata, fatwa tersebut dapat berdampak pada persidangan kasus Ahok yang masih bergulir.
Hatta berkata, MA akhirnya menyerahkan persoalan status gubernur yang disandang Ahok kepada Tjahjo sebagai orang nomor satu di Kementerian Dalam Negeri. Ia menuturkan, Tjahjo adalah pejabat yang berwenang menentukan jabatan kepala daerah.
Sejak 12 Februari lalu Ahok kembali menjabat gubernur DKI Jakarta. Sehari sebelumnya, masa cuti kampanye pilkada Ahok berakhir.
Pasal 83 ayat 1 UU Pemda mengatur, kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD jika didakwa melakukan tindak pidana yang diancam hukuman penjara paling singkat lima tahun.
Kepala daerah yang diduga melakukan pidana korupsi, terorisme, makar, pidana terhadap keamanan negara atau perbuatan yang memecah belah NKRI juga masuk dalam daftar pejabat yang harus dinonaktifkan.