-- Perdebatan muncul saat Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok kembali menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta usai menjalani cuti kampanye selama kurang lebih empat bulan. Yang dipersoalkan adalah status aktif Ahok sebagai Gubernur.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dinilai melanggar Undang-undang 23/2014 tentang Pemerintah Daerah karena tak memberhentikan Ahok yang berstatus terdakwa kasus dugaan penistaan agama.
Salah satu kelompok yang mengkritik 'sikap pasif' Mendagri terkait status Ahok adalah Advokat Cinta Tanah Air (ACTA). Mereka mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta agar Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan surat keterangan pemberhentian sementara Ahok dengan dasar UU Pemda.
Dalam beleid itu disebutkan, kepala daerah yang didakwa dengan ancaman hukuman lima tahun harus diberhentikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sisi lain, Tjahjo meyakini keputusan penonaktifan Ahok baru bisa dilakukan usai tuntutan dari kejaksaan. Jika tuntutan di atas lima tahun, politikus PDIP itu akan langsung memberhentikan sementara Ahok dari jabatan gubernur DKI.
Ahok sendiri saat ini didakwa dengan dua pasal yakni Pasal 156 dan 156a KUHP yang ancaman hukumannya berbeda-beda. Pasal 156 menyebutkan ancaman penjara paling lama empat tahun, sedangkan 156a menyebutkan ancaman selama-lamanya lima tahun penjara.
Untuk menguatkan keyakinannya, Tjahjo mengajukan permohonan fatwa pada Mahkamah Agung (MA) 14 Februari lalu.
Sebagai lembaga peradilan tertinggi, MA memang berwenang memberikan penafsiran terhadap suatu perkara akibat munculnya tafsir hukum yang berbeda. Namun, dari surat yang beredar, MA menyatakan tak dapat memberikan fatwa soal status Ahok karena masalah yang dimohonkan masuk dalam gugatan di PTUN.
Wakil Ketua MA Syarifuddin menjelaskan, lembaganya khawatir isi fatwa akan mengganggu independensi hakim jika diterbitkan di tengah gugatan yang tengah berjalan di PTUN. Sebab, bisa jadi fatwa atau pendapat hukum yang dikeluarkan MA isinya sama atau justru berbeda dengan perkara di PTUN hingga menimbulkan konflik kepentingan.
 (CNN Indonesia/Tino Oktaviano/POOL) |
Pakar hukum pidana Universitas Parahyangan Agustinus Pohan memiliki pendapat lain.
Agustinus menilai MA sebenarnya dapat menerbitkan fatwa secara umum tanpa harus fokus pada perkara Ahok. Maksudnya, fatwa tersebut dapat memuat pendapat hukum yang menerangkan secara umum jika kepala daerah terjerat kasus dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara, yang bisa menjadi acuan bagi perkara Ahok dan persoalan serupa di masa depan.
"Jangan dikaitkan dengan perkara Ahok, buat secara umum saja, kan ini soal pidana maksimum. Apa tafsirannya dan dilepaskan soal siapa tersangkanya. Itu penting karena kalau besok ada persoalan lagi kita tahu apa pendirian MA," kata Agustinus saat ditemui kemarin.
Meski demikian, ia memaklumi sikap MA yang terkesan berhati-hati dalam memberikan fatwa terkait kasus ini. Apalagi Mendagri sengaja mengajukan permohonan fatwa ini lantaran terjadi pro dan kontra di masyarakat. Dengan sikap MA tersebut, menurut Agustinus, Kemendagri harus menafsirkan sendiri perkara ini dan menyampaikannya pada publik.
"Mendagri harus punya tafsir dan disampaikan, apapun isinya ke publik. Kalau MA mungkin memang berpikirnya ada perkara, sehingga dia harus hati-hati," ucapnya.
Tak Bisa SembaranganSementara itu, juru bicara MA Suhadi mengatakan, ketentuan tentang fatwa telah diatur dalam UU 14/1985 tentang MA. Proses penerbitan fatwa, menurutnya, tak bisa sembarangan. Terdapat sejumlah proses yang mesti dilalui sebelum fatwa itu diterbitkan. Apalagi tak ada ketentuan baku yang mengatur batas waktu pengeluaran fatwa.
"Tidak bisa dihitung berapa lama karena prosesnya tergantung pencarian referensi yang dibutuhkan oleh fatwa itu. Misalnya UU Pilkada, ya itu nanti dicari riwayat UU-nya seperti apa, kemudian kajian akademisnya, dan lain-lain," ujar Suhadi.
Dalam proses kajian, MA akan membentuk tim untuk membahas perkara yang dimohonkan. Suhadi menuturkan, pembentukan tim ini pun tak bisa asal tunjuk.
Anggota tim harus sesuai dengan kebutuhan isi fatwa sebelum diterbitkan. Jika perkara pidana, maka ahli yang dibutuhkan juga seseorang yang memiliki kemampuan tentang hukum pidana, begitu pula dengan kemampuan tentang hukum perdata, tata negara, maupun lainnya.
"Setelah itu nanti dibahas dan akan dikaji lagi dalam rapat pimpinan," katanya.
Rapat pimpinan itu akan dihadiri sembilan pimpinan MA yang terdiri dari ketua, wakil, hingga ketua kamar yang bersangkutan dengan perkara. Nantinya isi fatwa akan memuat mengenai pertimbangan, analisis, alasan, maupun petunjuk yang menjadi dasar hukum bagi MA.
Mekanisme tersebut, menurut Suhadi, yang membuat MA harus berhati-hati dalam mengeluarkan fatwa. Terlebi selama ini MA juga telah mengurangi penerbitan fatwa.
Ketua MA Hatta Ali sebelumnya menyatakan, pengurangan fatwa dilakukan dengan alasan efisiensi dan menjaga independensi hakim. Apalagi fatwa ini sifatnya tak mengikat. Artinya, tak ada kewajiban untuk mengikuti atau tidak isi fatwa tersebut.