Jakarta, CNN Indonesia -- Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat Rudy Indra Prasetya merupakan oknum jaksa kelima yang tertangkap dalam kasus dugaan korupsi di era kepemimpinan Muhammad Prasetyo sebagai Jaksa Agung.
Rudy adalah Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Pamekasan, Jawa Timur yang terjaring dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK, Rabu (12/8). Ia ditangkap bersama Bupati Pamekasan Ahmad Syafii.
Rudy diduga menerima uang sebesar Rp250 juta lewat Inspektur Pemerintah Kabupaten Pamekasan Sutjipto Utomo dan Kepala Bagian Administrasi Inspektorat Pemkab Pamekasan Noer Sollehhodin untuk menghentikan penyelidikan kasus dugaan korupsi dana desa yang dilakukan Kepala Desa Dasok, Agus Mulyadi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Peneliti ICW Emerson Yuntho mengatakan, penangkapan Rudy merupakan momentum bagi Presiden Joko Widodo untuk mengevaluasi kinerja Prasetyo. Menurut dia, Prasetyo telah gagal menjadi teladan bagi jajarannya sejak memimpin Korps Adhyaksa pada 2014 silam.
"Jokowi harus evaluasi kinerja Jaksa Agung Prasetyo. Ini tidak ada suri tauladan dari pemimpin Kejaksaan Agung," ucapnya saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Kamis (3/8).
Selain itu, ia melanjutkan, tertangkapnya oknum jaksa dalam kasus korupsi ini juga membuktikan fungsi pengawasan dan pembinaan yang dilakukan Prasetyo tidak berjalan di Kejaksaan Agung.
Berdasarkan data ICW, oknum-oknum jaksa yang terseret kasus korupsi di era Prasetyo adalah dua jaksa penuntut umum (JPU) di Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Deviyanti Rochaeni dan Fahri Nurmello, yang ditangkap KPK pada 2016 lalu. Keduanya ditangkap karena menerima suap dari mantan Bupati Subang Ojang Suhandi.
 Foto: Adhi Wicaksono Di bawah kepemimpinan Prasetyo sebagai jaksa agung, sudah lima jaksa yang terjaring OTT KPK. |
Suap itu diberikan untuk meringankan tuntutan terhadap dua pejabat Dinas Kesehatan Subang yaitu Jajang Abdul Kholik dan Budi subianto. Keduanya tersangkut kasus korupsi penyalahgunaan anggaran pengelolaan dana kapitasi dan program BPJS Kesehatan tahun anggaran 2014 di Dinas Kesehatan Subang.
Pada November 2016, Pengadilan Negeri Tipikor Bandung menjatuhkan vonis tujuh tahun penjara untuk Fahri. Sementara Deviyanti divonis penjara selama empat tahun.
Kemudian, Jaksa Pidana Khusus pada Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Ahmad Fauzi yang ditangkap tim Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) Jawa Timur pada akhir November 2016 karena menerima suap dalam perkara pengalihan lahan di Sumenep.
Pemberian suap itu dimaksudkan agar ia tidak ditetapkan tersangka oleh Fauzi yang saat itu sebagai penyidik. Penangkapan Fauzi tak lama setelah dia mengikuti sidang praperadilan Dahlan Iskan di Pengadilan Negeri Surabaya.
Pengadilan Tipikor Surabaya memvonis Fauzi dengan hukuman empat tahun penjara. Dia dinyatakan terbukti menerima suap sebesar Rp1,5 miliar.
Lalu, Kepala Seksi III Intelijen Kejaksaan Tinggi Bengkulu Parlin Purba yang ditangkap tangan KPK pada Juni 2017 lalu usai menerima suap.
Suap yang diberikan kepada Parlin diduga berhubungan dengan pengumpulan data dan bahan keterangan terkait proyek pembangunan irigasi yang berada di bawah Balai Wilayah Sungai Sumatera (BWSS) VII Provinsi Bengkulu.
Saat ini, Parlin ditahan di Rutan Pomdam Jaya Guntur. Selain Parlin, KPK juga menetapkan pejabat pembuat komitmen (PPK) pada Balai Wilayah Sungai Sumatera (BWSS) VII Provinsi Bengkulu, Amin Anwari, dan Direktur PT Mukomuko Putra Selatan Manjudo Murni Suhardi sebagai tersangka.
Sebelum era kepemimpinan Prasetyo, ada empat jaksa yang pernah ditangkap dalam kasus korupsi. Pertama, Urip Tri Gunawan atau biasa disebut UTG. Mantan jaksa pada Kejaksaan Agung ini terjaring OTT pada 2 Maret 2008. Dia ditangkap usai menerima suap sebesar Rp6 miliar dari Artalyta Suryani (orang dekat pemilik saham Bank Dagang Negara Indonesia, Sjamsul Nursalim).
Urip divonis hukuman 20 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada 4 September 2008. Dia terbukti menerima uang terkait jabatannya sebagai anggota tim jaksa penyelidik perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada BDNI. Pada Mei 2017 lalu, Urip mendapatkan pembebasan bersyarat dari Kementerian Hukum dan HAM.
Kemudian, mantan JPU Kejaksaan Negeri Kota Tangerang Dwi Seno Wijanarko yang merupakan terpidana pemerasan dalam pengadaan outsourcing Pengelolaan Sistem Informasi CIS (Customer Information System) berbasis Teknologi Informasi (IT) mencakup Sistem Informasi Pengelolaan Piutang Pelanggan (SIP3) pada PT. PLN (persero) Wilayah Lampung, 2002–2004. KPK menangkap Dwi Seno 11 Februari 2011 lalu di Serpong, Tangerang Selatan.
Penangkapan dilakukan usai Dwi menerima uang yang diduga hasil pemerasan tersebut. Pengadilan Tipikor Serang telah memvonis Dwi Seno bersalah dan dipidana selama satu tahun enam bulan penjara pada 19 September 2011.
Selanjutnya, mantan Kepala Kejaksaan Negeri Praya, NTB, Subri yang ditangkap KPK pada Desember 2013 di Senggigi usai tertangkap basah menerima suap. Penyuapan terhadap Subri terkait pengurusan perkara pemalsuan dokumen sertifikat tanah di Kabupaten Lombok Tengah antara Sugiharta alias Along dan PT Pantai Aan.
Pada Juli 2014, Subri dijatuhi pidana penjara selama sepuluh tahun oleh PN Tipikor Mataram. Subri terbukti menerima uang Rp25 juta dari Nurjanah untuk membiayai aksi demo terkait ditangguhkannya penahanan Along.
Dia juga terbukti menerima hadiah atau janji berupa Ponsel merk Samsung dan uang USD8.200 yang telah berpindah tangan kepada terdakwa. Uang senilai Rp 100 juta tersebut diberikan oleh Lusita Anie Razak untuk kepengurusan sengketa lahan milik PT Pantai Aan di kawasan Selong Belanak, Lombok Tengah.
Terakhir jaksa di Kejaksaan Negeri Cibinong Sistoyo tang ditangkap KPK pada 21 November 2011 di halaman Kantor Kejari Cibinong. Dalam penangkapan itu, KPK menyita uang Rp100 juta dalam amplop coklat yang ditemukan di mobil Sistoyo.
Sistoyo bersama-sama Efriyati yang juga menjabat sebagai jaksa di Kejari Cibinong, saling bekerja sama satu sama lain terkait perkara ini. Kerja sama tersebut terlihat dari adanya penundaan sidang dengan terdakwa Edward M Bunyamin di Pengadilan Negeri Cibinong. Pada 20 Juni 2012, Jaksa Sistoyo divonis 6 tahun penjara dan denda Rp200 juta oleh Pengadilan Tipikor Bandung. Menyikapi tertangkapnya oknum jaksa dalam kasus korupsi, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Muhammad Rum menyatakan menyerahkan seluruh proses hukum kepada KPK.
Namun begitu, ia mengatakan, tindakan korupsi yang terjadi bukan disebabkan kesalahan sistem di Korps Adhyaksa. Menurut dia, tindakan yang dilakukan Rudy merupakan bentuk ketidakpatuhan anggota pada ketentuan proses penyelidikan atau penyidikan.
“Pengawasannya ada SOP (Standar Operasional Prosedur), ini oknum. Tidak bisa menyalahkan sistem. SOP periksa perkara bagaimana, seharusnya etika jaksa. Tapi karena ini oknum, tidak bisa bicara sistem dong," ucap Rum, Rabu (2/8).
Ia pun memastikan pihaknya akan menempuh mekanisme di Jaksa Agung Muda Pengawasan bagi jaksa-jaksa yang tersandung perkara hukum. "SOP periksa perkara bagaimana seharusnya etika jaksa. Tapi karena ini oknum, kita tidak bisa bicara sistem," kata Rum.