Bandung, CNN Indonesia --
Bangunan di Jalan Sancang Nomor 2, Kota Bandung itu dari luar tampak sepi. Sebuah plang bertulis Panti Sosial Tresna Wredha Budi Pertiwi terpacak, dinaungi pohon palm yang rindang.
Saking lengangnya suasana, kita akan menyadari suara angin yang siang itu menggerakkan daun pohon palm di halaman panti. Ada belasan penghuni lanjut usia (lansia) di sini. Semuanya perempuan berusia 60 tahun ke atas.
Kartinah (78), adalah satu di antaranya. Ramadan siang itu ia tengah duduk-duduk di sebuah kursi tak jauh dari kamarnya di pojokan, di hadapan jemurannya yang hampir kering. Cuaca terik membuat pakaian yang ia cuci sejak pagi itu bisa langsung disimpan di lemari.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya masuk panti tahun 76 [1976], di umur 33 [tahun]. Dulu saya petugas yang ngurus nenek-nenek. Total sudah 44 tahun saya mengabdi di sini," cerita Kartinah membuka obrolan.
Di panti ini, ia menghuni kamar seluas 3x3 meter. Di dinding kamar tampak fotonya terpajang sedang bersama perawat lain, ada pula foto para pendiri panti.
Hampir separuh usai Kartinah dihabiskan di sini.
Ia mengenang, saat itu ada setidaknya 45 orang yang ia rawat. Setelah puluhan tahun mengabdi, Kartinah memilih menetap jadi penghuni panti. Bukan lagi sebagai petugas.
"Dulu itu susah sekali mencari karyawan. Saya merasa tidak ada pekerjaan lain, jadi memilih untuk jadi petugas di sini," tutur dia.
Kartinah merasa panti sudah menjadi bagian dari hidupnya. Karena itu meski masih punya keluarga, ia lebih memilih tinggal di sini.
"Anak saya masih tinggal di Bandung, masih bekerja. Kalau ke sini sering, dikunjungi cucu dan menantu," kata dia.
 Kartinah, salah satu penghuni di Panti Sosial Tresna Wredha Budi Pertiwi di Bandung. (CNN Indonesia/ Huyogo) |
Anak dan cucu-cucunya rutin mengunjungi Kartinah setidaknya sebulan sekali. Tapi rutinitas ini tersendat setahun belakangan karena pandemi Covid-19. Ia tak bisa ke mana-mana, kunjungan keluarga pun dibatasi.
Kartinah kangen bertemu cucunya, tapi juga takut dengan virus corona. Belakangan ia sedikit lega setelah menerima suntik dua dosis vaksin.
"Rindu selalu ada, tapi saya juga takut corona," aku perempuan kelahiran Purwokerto tersebut.
Selama Ramadan, hari-hari di panti lebih banyak diisi dengan kegiatan keagamaan. Senam atau aktivitas lain yang menguras tenaga ditiadakan. Kartinah biasanya mengisi waktu dengan membaca Al-Quran.
Kegiatan lain yang bisa dilakukan di sini tentu, ngobrol. Tampak dari kejauhan, di salah satu sudut lain, terlihat seorang nenek asyik membahas sesuatu dengan teman sekamarnya.
Sementara seorang penghuni lain menghampiri Kartinah. Namanya Rohimah, berusia 94 tahun. Rambut yang sudah memutih sedikit menyembul dari balik kerudungnya yang tampak longgar.
"Hallo..hoe gaat het," ucap Rohimah. Seluruh penghuni di sini tahu bahwa Rohimah fasih Berbahasa Belanda.
Ia pernah bersekolah di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di kawasan Riouwstraat--yang kini lebih dikenal sebagai Jalan Riau di Bandung. Rohimah siang itu juga pamer kebolehan dengan mengucapkan kalimat yang lebih panjang.
"Waar wil je, waarom ziet er netjes uit," kata dia. Atau yang berarti: "Mau ke mana, mengapa terlihat begitu rapi?".
Lanjut baca ke halaman berikutnya ...
Tak berhenti di situ. Dengan suara merdunya, Rohimah melantunkan lagu Wieteke van Dort berjudul Geef mij maar Nasi Goreng.
"Geef mij maar nasi goreng. Met een gebakken ei. Wat sambal en wat kroepoek. En een goed glas bier erbij," dia bersenandung.
"Dulu itu lagu sering diputar di radio. Sering sekali. Tapi sekarang saya sudah jarang dengar radio," kata perempuan asal Magelang itu kemudian.
Rohimah jadi penghuni panti sosial yang didirikan Perkumpulan Budi Istri ini, sejak 1992 silam. Ia senang berada di sana. Tapi sejak pandemi Covid-19, ia merasa seperti terpenjara. Rohimah mengeluh tak bisa lagi bebas jalan-jalan menghirup udara segar.
"Kalau dulu saya suka belanja ke Pasar Ancol sendiri, bisa naik angkot sendiri atau beli pisang goreng di depan. Tapi karena pandemi sudah lama ini semua tidak boleh keluar," ungkap Rohimah.
Setiap ada hari besar keagamaan, dua keponakannya yang tinggal di Jakarta dan Gresik kerap mengunjunginya. Tapi rasa-rasanya sekarang ini tak mungkin mengingat pandemi. Rohimah juga paham risiko penularan corona yang membayangi para lansia.
"Kami ini orang tua yang sudah renta, virusnya bisa saja ke kita. Kalau rindu sama mereka, ya paling saya teleponan sama keponakan," ucap dia.
Meski begitu, masih ada harap Rohimah bisa dipertemukan dengan para keponakannya pada Lebaran tahun ini.
Berbeda dengan Mawati (60). Selama delapan tahun tinggal di panti, ia tak pernah sekalipun menerima kunjungan dari keluarga. Meski begitu ia merasa nyaman menghabiskan waktu di panti.
"Saya sudah merasa lebih baik di sini, dikasih makan, ada tempat tidur. Saya tidak mau balik lagi," kata dia.
Mawati berasal dari Solo. Tapi ia pernah bermukim di Medan. Ia termasuk penghuni yang tak banyak bicara, lebih banyak murung dan, sesekali tampak melamun.
Menurut cerita, Mawati ditinggalkan oleh suaminya. Sebelum tinggal ke panti, ia pernah mengalami kekerasan, digebuki seorang majikan hingga akhirnya kabur untuk mendapatkan perlindungan.
"Saya sudah betah di sini, ada banyak teman," ungkap dia singkat. Dibanding dua kawannya yang lain--Kartinah dan Rohimah, Mawati lebih banyak diam.
 Ramadan di Panti Sosial Tresna Werdha, panti tertua di Bandung. Tiga dari 19 penghuni panti. (CNN Indonesia/ Huyogo) |
Penghiburan lain penghuni panti yang terenggut saat wabah, adalah kedatangan mahasiswa-mahasiswa yang praktik lapang. Anak-anak muda itu tadinya mengobati kesendirian para penghuni. Kalau datang, mereka akan dianggap sebagai cucu.
Namun Ketua Panti Sosial Tresna Werdha Budi Pertiwi Ai Djoewarsa menerangkan pelbagai kegiatan kunjungan bukan keluarga selama pandemi ini ditutup sementara. Termasuk praktik bagi para mahasiswa.
"Setiap bulan itu memang ganti-ganti perguruan tingginya. Kehadiran mereka saat praktik membuat para nenek-nenek jadi bahagia. Mereka bisa ada teman cerita, karena selama ini mereka kan ingin didengar. Meski baru kenal, biasanya sudah seperti dianggap anak sendiri," kata Ai Djoewarsa kepada CNNIndonesia.com saat ditemui di lobi panti.
Wabah virus corona memaksa pengelola panti menerapakan kebijakan pembatasan kegiatan demi mencegah risiko penularan. Sekalipun begitu Ai memastikan pihak keluarga tetap terus berkomunikasi dengan penghuni panti melalui telepon.
Panti Budi Pertiwi merupakan satu dari enam panti sosial werdha yang menerima, mengurus, dan membantu para perempuan lansia di Bandung. Panti ini tercatat sebagai yang tertua di Kota Bandung sejak kelahirannya pada 1948 silam.
Secara khusus tempat ini hanya menerima calon penghuni dari keluarga kelompok ekonomi rentan atau duafa. Saat ini, ada 19 penghuni di Panti Sosial Tresna Wredha. Mereka dirawat petugas yang 24 jam penuh siaga.
"Kita ini non-profit, tetapi tak pernah meminta atau menggalang dana. Alhamdulillah rezeki nenek tersebut, selalu saja ada bantuan yang masuk sehingga keperluan para penghuni bisa terpenuhi," ujar Ai.
Koordinator Operasional Panti, Permadi Novendi mengungkapkan, setiap ada hari besar keagamaan seperti Lebaran, biasanya ada saja penghuni yang dijemput keluarga. Namun kini hal tersebut untuk sementara dilarang lantaran masih pandemi.
"Kita tutup kunjungan, tapi tidak ketat juga bagi keluarganya. Kami fasilitasi di tempat terbuka dengan tetap jaga jarak. Demi keselamatan dan kenyamanan nenek, kalau ada larangan mudik, kita bisa fasilitasi dengan telepon atau video call," tutur Permadi.
Bagi beberapa lansia, rindu ke keluarga itu tidak bisa dihindari. Ada sebagian dari mereka yang ingin menghabiskan masa tua bersama sanak famili. Atau setidak-tidaknya, ada yang menemani.
Hari itu, panti jompo khusus lansia perempuan itu bakal kembali lengang. Jauh dari kesan semarak Idulfitri yang umum dirasakan sebagian orang.
Meski dari luar bangunan itu tampak sepi. Tapi di dalamnya, para penghuni memiliki pelbagai cerita masing-masing. Ai bilang, nenek-nenek yang menghuni pantinya itu akan senang jika kisah mereka didengar.