Surabaya, CNN Indonesia --
Zulmy Erian (28) terlihat sibuk menata wadah-wadah bulat di atas meja. Sesekali pandangan matanya beralih mencermati adonan di dalam mangkuk. Ia ingin memastikan takaran adonan kuenya pas. Secara perlahan ia tuangkan adonan ke loyang.
Di ruangan berbeda, Nanda (25) mengeluarkan kue dari mesin pemanggang roti. Asap mengepul dan aroma harum langsung memenuhi seluruh ruangan. Tangan Nanda sesekali mengibas kue di atas nampan.
Erian dan Nanda tak sendiri. Di ruangan yang sama juga tampak sejumlah orang sedang mengolah bahan mentah dan manik-manik. Mereka tampak cekatan memilah bahan, menggabungkan lalu mengombinasikannya menjadi pusparagam penganan dan kerajinan. Mereka mengemasnya dengan rapi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka adalah para penyandang disabilitas yang menyulap rumah kontrakan di Jalan Sampoerna nomor 17, Krembangan Utara, Pabean Cantian, Surabaya, Jawa Timur ini menjadi ruang berbagi dan berkreasi. Mereka menyebut rumah di permukiman padat ini Kedaibilitas. Rumah ini menjadi ruang para disabilitas untuk belajar dan berkarya.
Berawal dari rasa cinta
Kedaibilitas didirikan tiga tahun lalu oleh Andi Fuad Rachmadi (35). Jebolan Universitas Negeri Malang, Jawa Timur ini sengaja mendirikan Kedaibilitas karena ingin membuktikan bahwa penyandang disabilitas juga bisa menjadi pengusaha.
"Kedaibilitas ini adalah laboratorium usaha teman-teman disabilitas," kata Andi kepada CNNIndonesia.com, Kamis (9/9).
 Andi Fuad Rachmadi (35), pendiri Kedaibilitas di Surabaya. (CNN Indonesia/Farid Rahman) |
Puluhan penyandang disabilitas bernaung di rumah ini. Sebagian besar adalah penyandang disabilitas intelektual dan mental. Ada juga penyandang disabilitas ganda atau perpaduan dari keduanya.
Ide membuat Kedaibilitas berawal saat Andi menjadi guru di sebuah sekolah inklusi di Kota Malang, Jawa Timur. Di sekolah ini, Andi banyak berinteraksi dan mendampingi anak-anak berkebutuhan khusus.
Hal ini membuat Andi terpanggil untuk fokus mendampingi para penyandang disabilitas dan memutuskan menjadi pendamping di sebuah lembaga pendidikan warga negara berkebutuhan khusus di Surabaya.
Kecintaannya pada para penyandang disabilitas kemudian menggerakkan dirinya membuat unit usaha untuk memberdayakan mereka. "Setiap anak-anak berkebutuhan khusus, pasti mereka punya satu potensi minimal. Pasti ada itu," katanya.
Bukan sekadar profit
Andi menamai unit usahanya Kedaibilitas. Ia lalu mengajak sejumlah penyandang disabilitas usia 17-30 tahun untuk bergabung. Andi dan para pendamping kemudian mendidik para penyandang disabilitas untuk bekerja dan berwirausaha. Mulai dari belanja bahan mentah di pasar, produksi hingga memasarkannya.
Jika sebelumnya para penyandang disabilitas hanya belajar teori di lembaga pendidikan, di tempat ini mereka harus mempraktikan dan terjun langsung ke masyarakat.
"Kami mengajarkan mereka dari awal sampai akhir. Saat belanja sampai memasarkan. Mereka yang melakukan. Biar mereka bisa berinteraksi. Kami ajak mereka ke dunia nyata, bukan dunia sinetron," kata Andi menjelaskan.
 Unit Usaha Penyandang Disabilitas Kedaibilitas di Surabaya. CNN Indonesia/Farid Rahman) |
Menurut Andi, sampai saat ini masyarakat masih memandang penyandang disabilitas dengan sebelah mata dan memperlakukan mereka sebagai warga negara kelas dua. Untuk itu, para penyandang disabilitas harus terjun ke masyarakat agar mentalnya kuat. Di sisi lain hal itu juga sebagai upaya mendidik masyarakat agar bisa memandang dan memperlakukan penyandang disabilitas setara.
"Mereka butuh berinteraksi dengan dunia nyata. Jadi ketika mereka keluar itu enggak dipandang sebelah mata oleh masyarakat," ujarnya menambahkan.
Semua penyandang disabilitas yang bekerja di Kedaibilitas terlibat langsung melayani pembeli. Mulai dari mencatat pesanan, menyiapkan minuman dan makanan, mengantarkan, hingga menerima pembayaran. Para tamu yang berasal dari beragam kalangan bisa bercengkrama dan berbincang langsung dengan para penyandang disabilitas ini. Konsep ini, diyakini Andi dapat menciptakan interaksi dan lingkungan yang inklusif.
"Peran kami di situ, selain mengedukasi anak-anak ini, kami juga mengedukasi masyarakat, biar terbentuk lingkungan inklusif, yang ramah disabilitas," ujarnya menambahkan.
Bagi Andi, tujuan utama Kedaibilitas bukan mencari profit. Namun, membuat para penyandang disabilitas siap menghadapi dunia kerja yang sesungguhnya.
 Infografis Salah Kaprah Istilah Disabilitas. (CNN Indonesia/Basith Subastian) |
Andi mengaku, selain kecintaannya pada para penyandang disabilitas, faktor lain yang memicu lahirnya Kedaibilitas adalah kebijakan pemerintah yang masih diskriminatif terhadap kelompok disabilitas intelektual. Menurut dia, pemerintah belum bisa menjamin akses pekerjaan bagi para penyandang disabilitas.
Selama ini, disabilitas intelektual menjadi kelompok yang paling sulit diterima bekerja di instansi pemerintah maupun sektor formal. Berbeda dengan jenis disabilitas fisik atau lainnya. Untuk itu, tak ada pilihan lain bagi mereka selain membangun usaha sendiri.
"Coba lihat selama ini disabilitas diterima kerja itu kebanyakan adalah disabilitas fisik, tunadaksa, tapi anak-anak disabilitas intelektual dan mental ini enggak bisa diterima," ujarnya.
Andi mengatakan, hal itu dibuktikan dari pengalamannya sendiri, ketika mendampingi sejumlah anak didiknya saat berusaha mendapatkan pekerjaan. Saat itu, sejumlah anak didiknya yang merupakan penyandang disabilitas intelektual sempat mendapatkan kesempatan magang di sebuah kantor pemerintahan.
Proses itu berjalan selama tiga bulan. Namun setelah tiga bulan, bukannya diterima kerja di kantor pemerintahan tersebut, para penyandang disabilitas intelektual yang didampingi Andi malah diberhentikan.
"Setelah tiga bulan, anak-anak ini ditolak, 'Ini tidak bisa, Pak, karena kondisinya', saya sempat bentrok itu," ujarnya mengenang.
 Unit Usaha Penyandang Disabilitas Kedaibilitas di Surabaya. (CNN Indonesia/Farid Rahman) |
Hal ini menjadi bukti bahwa pemerintah belum bisa menjamin hak para penyandang disabilitas meski sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pemerintah, kata Andi, juga tak bisa memberikan kesempatan kerja bagi setiap warga negaranya, seperti pada Pasal 5, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
"Padahal sudah tertulis dalam UU bahwa semua warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk bekerja, tanpa diskriminasi."
Upaya pemerintah
Berdasarkan data berjalan Sistem Informasi Management Penyandang Disabilitas Kementerian Sosial, pada 2021 terdapat 22.342 jiwa penyandang disabilitas di Jatim. Jumlah itu merupakan 10,54 persen dari total keseluruhan jumlah disabilitas yang ada di Indonesia.
Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Provinsi Jawa Timur M. Alwi mengatakan, pihaknya telah menyelenggarakan pelatihan kerja bagi para penyandang disabilitas melalui sejumlah UPT yang tersebar di berbagai daerah di Jatim. Mereka yang dilatih, adalah para penyandang disabilitas yang masih berusia produktif.
"Kami latih mereka, ada UPT yang memberikan pelatihan, diharapkan mereka bisa mandiri," kata Alwi.
Para disabilitas ini, kata Alwi, dibekali keterampilan untuk memproduksi kerajinan, seperti pot, batik, menjahit. Ada pula yang dilatih kemampuan servis motor, handphone, elektronik hingga memijat. Pelatihan itu disesuaikan dengan kemampuan masing-masing jenis disabilitas. "Pot, kerajinan, itu hasil anak-anak disabilitas. Batik, dan kalau yang tuna netra itu pijat," ucapnya.
Melalui UPT itu, Dinsos Jatim tiap tahunnya meluluskan 40-an penyandang disabilitas yang telah dinyatakan tuntas mengikuti pelatihan keterampilan. Mereka lalu dibekali peralatan penunjang usaha. Seperti mesin jahit, alat servis ponsel, servis elektronik, alat perlengkapan bengkel, hingga alat usaha kelontong.
"Kami kemarin [tahun 2020] melepas sekitar 40 orang anak didik. Kami kasih peralatan sesuai dengan bidang yang ditekuni, kami kasih mesin jahit, alat servis, alat pijat," ujarnya menjelaskan.
Namun, bantuan itu, kata Alwi, hanya sebatas pelatihan dan peralatan usaha semata. Sebab pemerintah melalui Dinsos Jatim, tak menganggarkan bantuan modal tunai bagi mereka. "Bantuan modalnya dalam bentuk skill dan peralatan," ujar Alwi.
Kebanyakan dari mereka yang mendapatkan bantuan itu adalah penyandang disabilitas fisik, disabilitas sensorik seperti tuna netra, rungu dan wicara. Bantuan itu, sayangnya tak menyentuh mereka yang merupakan disabilitas intelektual dan mental.
Alwi mengakui, penanganan disabilitas intelektual jauh lebih sulit dibanding pendampingan terhadap kelompok jenis disabilitas lain. Ia bahkan menyebut, mereka hampir tak bisa tertangani.
"Disabilitas intelektual ini lebih tinggi lagi [kesulitannya]. Hampir enggak bisa diapa-apakan," katanya.
Kepala Bidang Penempatan dan Perluasan Kesempatan Kerja Dinas tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jatim, Sunarya, mengatakan penyerapan tenaga kerja disabilitas sebenarnya sudah diatur di UU Nomor 8 Tahun 2016. Namun implementasinya ternyata masih jauh dari harapan.
"Memang perusahaan wajib minimal 1 persen dari jumlah tenaga kerja. Tapi implementasinya di lapangan, mungkin banyak [perusahaan] yang belum melakukan," ujarnya.
Sunarya mengatakan pihaknya sulit mengawasi perusahaan-perusahaan yang telah atau belum menyerap tenaga kerja disabilitas. Disnaker di kabupaten/kota pun juga seringkali mengalami kendala. Akibatnya pihaknya hingga kini belum memiliki data yang memadai.
"Karena setiap kami membuat surat misalkan ke dinas kabupaten/kota untuk jumlah data tenaga kerja disabilitas, itu juga banyak yang tidak mengirimkan, mereka kesulitan," ucapnya.
Meski begitu, Sunarya mengatakan pihaknya sudah seringkali melakukan sosialisasi ke perusahaan di berbagai kabupaten/kota di Jatim, sebagai langkah dan upaya penyerapan tenaga kerja disabilitas.
Upaya mewujudkan hal itu, bahkan juga dilakukan tiap tahun dengan cara mengusulkan nama-nama perusahaan yang sudah dinilai menerapkan lingkungan kerja inklusif. Untuk kemudian berkesempatan meraih penghargaan dari Kementerian Tenaga Kerja.
"Setiap tahun punya agenda, melalui Kemenaker bahwa untuk pemda itu mengusulkan perusahaan-perusahaan yang peduli memperkerjakan disabilitas untuk diberi penghargaan. Ada parameter, minimal 1 persen, terkait sarana prasana (sarpras) dan fasilitas," ucapnya.
Selain itu, Disnakertrans Jatim telah menyediakan sejumlah balai latihan kerja (BLK). Hanya saja, tak ada pelatihan khusus yang fokus disediakan untuk penyandang disabilitas. Mereka akan dilatih bersama masyarakat umum lainnya. Sebab sarpras dan masih terbatasnya tenaga pengajar dengan perspektif inklusi, adalah hambatannya.
"Kami punya 16 BLK, kami sudah mengakomodir salah satunya disabilitas, tapi sesuai dengan kejuruan yang ada di BLK. Karena kalau kakami mengakomodir khusus untuk disabilitas kan juga kesulitan. Satu masalah sarpras, dan narasumber," ujarnya berdalih.
Karena terbatasnya sarpras dan narasumber yang disediakan itu, jenis kelompok disabilitas yang bisa diakomodir juga terbatas. Sejauh ini, kata Sunarya, yang bisa tertampung adalah disabilitas fisik. "Di BLK itu disabilitas fisik misalnya yang bisa," katanya.
Meski begitu, di Jatim sebenarnya telah ada BLK Inklusi di Sidoarjo. BLK itu di bawah naungan langsung oleh Kementerian Tenaga Kerja. Sarpras, fasilitas serta SDM yang bertugas telah dipersiapkan agar ramah saat berhadapan dengan penyandang disabilitas.
Di BLK Inklusi Sidoarjo ini, para penyandang disabilitas dapat menerima pelatihan keterampilan, sertifikasi profesi, bahkan sampai informasi dan akses penempatan kerja sesuai kompetensi mereka, baik di sektor formal maupun wirausaha.
"Penempatan di sektor formal maupun informal, di sektor formal yang hubungan kerja, menjadi karyawan. Kedua penempatan di sektor informal, yang berusaha sendiri, membuka usaha sendiri."