Jakarta, CNN Indonesia -- Tujuh daerah hanya mempunyai calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak yang akan diselenggarakan pada 9 Desember 2015 . Ketujuh daerah tersebut antara lain Kota Surabaya, Jawa Timur; Kabupaten Pacitan, Jawa Timur; Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat; Kabupaten Blitar, Jawa Timur; Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat; Kota Samarinda, Kalimantan Timur dan Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur.
Menjadi tanda-tanya besar, apakah Pilkada Serentak di 2015 yang akan bermuara menjadi pemilu serentak di 2019 bersama dengan pemilu legislatif dan presiden bisa gelar mulus. KPU dan Bawaslu dibuat pusing terkait tarik menarik aturan, apakah akan ada penundaan di 2017 atau tetap dilaksanakan dengan mencantumkan bumbung kosong sebagai 'pesaing' calon kepala daerah tunggal yang maju.
Pengamat, pejabat publik serta politisi mengatakan hal itu terjadi karena banyak faktor. Mahar politik atas partai, masalah pengkaderan internal partai yang tidak berjalan baik, masalah aturan hingga saling tunggu bakal calon yang akan mendaftar. (Baca juga:
Cegah Calon Tunggal Pilkada, Muncul Usul Potong Dana Parpol)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wali kota Surabaya Tri Rismaharini mengatakan tidak adanya permainan uang dalam proses pendaftaran bakal calon di wilayahnya jadi penyebab minimnya kompetitor untuk menantang dia dan pasangan bakal calon wakil wali kota, Whisnu Sakti Buana.
"Tidak ada money politic sama sekali. Kalau dengan uang mungkin kemarin selesai (tidak ditunda ke pilkada 2017). Kami mau ini benar-benar pemilihan. Ya resikonya begini," ujar Risma di kantor Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Jakarta, kemarin.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Riza Patria, mengatakan mahalnya biaya pilkada menyebabkan banyak calon kepala daerah urung mendaftarkan diri dalam pilkada. Meski ia membantah adanya mahar politik, namun Bawaslu menemukan adanya praktik-praktik tersebut, dengan nominal yang cukup besar dan dianggap membebani calon kepala daerah.
"Setahu saya kalau calon kepala daerah gagal itu karena memang biaya pilkada itu mahal. Tapi jika soal mahar, coba dibuka memangnya berapa mahar itu. Sekarang Pilkada itu dibiayai oleh APBD dengan bantuan APBN," kata Riza kepada CNN Indonesia, Senin (3/8). (Baca juga:
Birokrasi Rentan Dimanfaatkan oleh Calon Petahana di Pilkada)
Tak hanya itu, ketakutan akan kalah saing dengan calon petahana menjadi perhitungan beberapa kalangan.
Komisioner KPU, Ida Budhiati, mengibaratkan pilkada sebagai pertandingan sepakbola, Ida berkata, aturan main harus sudah jelas sebelum pertandingan dimulai. Menurut Ida, kejelasan itu tidak hanya soal jumlah minimal pasangan bakal calon tapi juga tata cara pemilihan, syarat bagi yang ingin mencalonkan diri hingga metode penetapan pasangan bakal calon dan sistem mengonversi jumlah suara menjadi kursi.
"Apakah saat ini merupakan waktu yang tepat untuk membongkar sistem pemilihan. Apakah dengan membongkar peraturan itu betul akan memberikan solusi dan suasana akan kondusif atau justru akan ada reaksi dari mereka yang sudah menggunakan hak mereka pada tahap pertama kemarin," ucap Ida.
Adanya, bahkan banyaknya calon tunggal menunjukan pilkada tidak lagu menarik lagi. Meskipun pilkada sekarang ini sudah direkayasa dengan gelaran secara serentak tapi nyatanya masih banyak calon tunggal. Itu bisa saja menjadi indikasi pilkada tidak lagi menarik. (Baca juga:
Tedjo Beberkan Kerugian Daerah Jika Pilkada Digelar 2017)
Pandangan Partai politik telah gagal dalam melakukan kaderisasi yang baik sehingga tidak melahirkan banyak calon kepala daerah, sah saja jadi sebuah pandangan atau kritik. Dalam hal ini, partai bisa dibilang gagal dalam meyakinkan masyarakat akan sebuah perubahan, termasuk tidak adanya calon independen yang mencoba untuk membawa kontestasi pilkada lebih demokratis dengan adanya pesaing.
Borongan PartaiKepala Badan Pemenangan Pemilihan Umum (Bappilu) Partai Amanat Nasional (PAN) Viva Yoga Mauladi menjelaskan penyebab tidak adanya calon kepala daerah untuk Pilkada Bolaang Mongondow Timur, Sulawesi Utara. Ia mengonfirmasi hal tersebut dikarenakan saling menunggu di antara dua pasangan calon kepala daerah yang merupakan kader PAN.
Ia mengatakan PAN mendukung petahana yakni Sehan Landjar yang berpasangan dengan Rusdi Gumalangi. Diketahui, para bakal pasangan calon perlu didampingi pimpinan partai di daerah untuk mencalonkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat.
Padahal sebelumnya Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Amanat Nasional Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim) Sam Sachrul Mamonto, akan mendaftarkan bakal calon bupati dan wakil bupati dari PAN yaitu dirinya berpasangan dengan Medy Lensun.
"Jadi ternyata Ketua DPD PAN juga maju," ujar Viva, Sabtu (1/8). (Baca juga:
JK: Pemerintah Belum Siapkan Sanksi untuk Parpol)
Pengamat politik, Nico Harjanto menilai banyaknya dukungan partai politik kepada salah satu bakal calon juga menyebabkan terjadinya calon tunggal. Salah satu contoh borong partai terjadi di Pilkada Cilegon. Pasangan incumbent Iman Ariyadi dan Edi Ariadi mendaftar sebagai calon wali kota dan wakil walikota dengan mengantongi dukungan 11 partai politik.
"Kalau semua diborong, ini yang salah kandidat. Perlu dipunish," ujar Nico dalam diskusi bertajuk 'Siap atau Tidak, Pilkada Serentak' di Jakarta.
Sementara, rasa pesimis juga ditunjukan oleh politikus PDI Perjuangan Effendi MS Simbolon, yang pada 2012 lalu diusung PDIP menjadi calon gubernur Sumatera Utara. “Pilkada mendatang belum akan membawa dampak yang nyata pada kesejahteraan rakyat,” kata Effendi.
Secara psikologi dari pandangan psikologi politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk mengatakan politik uang masih akan tetap banyak terjadi di pilkada. “Money politics atau lebih tepatnya disebut vote buying sulit untuk dilepaskan dalam pemilihan kepala daerah,” ujar Hamdi kepada CNN Indonesia, Sabtu (1/8).
Praktik jual beli suara, kata Hamdi, akan menyebar secara merata di daerah-daerah terutama yang banyak masyarakat miskinnya. Penyebab maraknya politik uang juga tak lepas dari tingkat kesadaran berpolitik yang rendah, baik dari masyarakat maupun dari pihak calon kepala daerahnya. (Baca juga:
KPU Buka Lagi Pendaftaran Pilkada Selama Tiga Hari)
Apapun alasannya, KPU akan menggelar Pilkada Serentak 9 Desember 2015 mendatang dengan banyak catatan tentunya. KPU tentunya perlu mencari formula dan solusi bagi rencana pilkada serentak gelombang dua yang akan digelar 2017, termasuk jika kepastian tujuh pilkada akan di undur dua tahun kedepan.
(pit)