ANALISIS

Gagap Urus Pandemi dan Cemas IDI RI Episentrum Corona Dunia

CNN Indonesia
Sabtu, 19 Sep 2020 13:13 WIB
Epidemiolog merespons Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang menyebut RI akan menjadi episentrum Covid-19 dunia jika tak ada perubahan.
Covid-19 di Indonesia. (CNN Indonesia/Bisma Septalisma)

Berbagai kebijakan telah diambil Indonesia untuk menangkal Covid-19, mulai dari pembentukan Gugus Tugas yang saat ini berubah nama menjadi Satuan Tugas hingga penerapan PSBB.

Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi meminta Menko Maritim dan Investasi (Marves) Luhut Binsar Pandjaitan untuk menurunkan kasus Covid-19 di sembilan provinsi dalam waktu 2 minggu.

Laura menyebut permintaan Presiden Joko Widodo  tak realistis.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Alasannya, respons negatif para menteri Jokowi terhadap rencana Pembatasan Sektor Berskala Besar (PSBB) yang kembali ditegakkan di DKI Jakarta membuat permintaan dua minggu sulit untuk dilakukan.

Selain respons yang tak sinkron terhadap kebijakan PSBB, pemimpin daerah lain juga malah mendorong versi pelonggaran PSBB. Padahal PSBB sendiri adalah versi pelonggaran dari lockdown.

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menyarankan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan agar berhati-hati mengumumkan hal-hal yang berkaitan dengan PSBB secara ketat. Menurutnya ada dampak terhadap bursa saham.

Oleh karena itu, Ridwan Kamil lebih memilih untuk menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Mikro (PSBM) wilayah di Jabar. Langkah ini dinilai efektif menekan laju penularan Covid-19.

Hal itu pun diamini oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang menyebut dalang rontoknya IHSG adalah pengumuman Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan soal keputusannya untuk menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) total di ibu kota.

Airlangga bahkan meminta jam kerja fleksibel kala PSBB di Jakarta. Jokowi sendiri menilai  PSBM atau komunitas lebih efektif diterapkan untuk disiplin protokol kesehatan.

Kota penyangga Jakarta, Bogor menolak penerapan PSBB. Wali Kota Bogor, Bima Arya mengatakan PSBB akan sia-sia jika diimbangi dengan sumber daya dan sistem keamanan yang memadai. Sumber daya yang dimaksud adalah bantuan sosial kepada warga yang bakal terdampak PSBB.

Dicky mengingatkan, respons awal yang cepat dan tepat terhadap Covid-19 menjadi langkah paling krusial untuk menekan penularan pandemi.

Studi yang dilakukan baik saat pandemi Covid-19 maupun sebelum pandemi lainnya menunjukkan respons awal dari pemerintah pusat maupun daerah sangat menentukan keberhasilan pengendalian Covid-19.

Dicky mengatakan pemerintah China melakukan respons yang cepat untuk melakukan lockdown di Wuhan tanpa melihat apakah Wuhan tersebut merupakan pusat ekonomi atau tidak. Diikuti dengan langkah 3T masif (testing, tracing, treatment) dan isolasi serta protokol kesehatan.

"Respons awal ini tak terlepas dari contoh di Wuhan tidak tergantung bahwa itu ibu kota atau tidak. Tapi langkah ini dilakukan di mana pun wilayah di negara tersebut yang menjadi sumber pandemi atau klaster pandemi. Respons cepat itu untuk mencegah penyebaran yang lebih masif," kata Dicky.

Dicky menjelaskan sayangnya di beberapa negara termasuk AS dan Indonesia ada penyangkalan terhadap Covid-19, sehingga memperlambat strategi pengendalian Covid-19. Sejak awal terdeteksi Covid-19 di Indonesia pada awal Maret, pemerintah tak langsung mengambil langkah cepat.

Pemerintah malah sempat menyangkal Covid-19 dengan mengatakan masyarakat Indonesia kebal Covid-19.

Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto bahkan menantang Universitas Harvard untuk membuktikan langsung hasil riset yang memprediksi virus corona semestinya sudah masuk ke Indonesia.

Terawan menegaskan hingga saat ini belum ada kasus virus corona karena Indonesia telah memiliki alat untuk mendeteksi virus asal China tersebut.


"Ya Harvard suruh ke sini. Saya suruh buka pintunya untuk melihat. Tidak ada barang yang ditutupi," ujar Terawan. Menurutnya, kondisi itu tak lepas dari doa yang terus dipanjatkan.

"Perkara Indonesia itu tidak ada (virus corona) ya berkat Yang Maha Kuasa, karena doa kita semua. Kita tidak mengharapkan itu ada. Dan kita terus berdoa mudah-mudahan jangan ada mampir ke Indonesia," katanya.

Nyatanya pada awal Maret, Indonesia mencatat angka Covid-19 pertama kali. Kemudian diikuti dengan pembentukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang saat ini diganti Satgas pada 13 Maret lalu.

Tak lama kemudian pada tanggal 31 Maret 2020,  Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020, yang mengatur pembatasan sosial berskala besar sebagai respons terhadap Covid-19.

Aturan ini memungkinkan pemerintah daerah untuk membatasi pergerakan orang dan barang masuk dan keluar dari daerah masing-masing asalkan mereka telah mendapat izin dari kementerian terkait. Aturan ini membentuk istilah kerja dan sekolah dari rumah dengan menggunakan aplikasi telekonferensi.

Akan tetapi, beberapa pelonggaran PSBB dilakukan untuk menjaga putaran roda perekonomian. Kebijakan pemerintah yang tak konsekuen, seperti pelonggaran aturan bepergian, dan parsial alias per daerah.

"Seperti misalnya pelarangan mudik, tapi ternyata ada pelonggaran. Ini kan bertolak belakang," ujar Epidemiolog Universitas Indonesia (UI) Hermawan Saputra.

Epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono mengatakan pemerintah masih menghadapi masalah terkait penanganan Covid-19. Hal itu menyebabkan kasus positif di Indonesia mencapai 184.286 orang.

Menurut Pandu, kesehatan publik menjadi indikator penting terkait kecepatan respons suatu negara menghadapi pandemi Covid-19.

Dijelaskan Pandu, kesehatan publik dapat dicapai dengan langkah pengawasan atau surveilans dengan menggunakan testing, tracing dan isolasi. Namun menurutnya masalah surveilans masih menjadi momok di Indonesia.

"Untuk menghadapi respons menular yang paling cepat di Kementerian Kesehatan adalah surveilans, testing lacak isolasi. Surveilans ini yang jadi masalah padahal testing penting untuk identifikasi orang yang membawa virus," kata Pandu

Pandu mengkritik pemerintah yang setengah-setengah melakukan lockdown. Hal ini membuat penularan Covid-19 masih tinggi.

"Kalau kita mau diperpanjang 10 kali juga tidak ada efeknya, karena seperti lockdown-lockdown-an saja. Masyarakat masih jalan terus berpindah-pindah. PSBB transisi tapi dari awal tidak serius," kata Pandu.

Faktanya, angka kasus Covid-19 menurun saat awal PSBB berlangsung. Saat itu, 60 persen penduduk ada di rumah. Dalam kurun waktu 2 minggu, jumlah kasus Covid-19 menurun.

Pandu berasumsi pandemi saat ini bisa lebih terkendali apabila saat itu PSBB terus berlangsung secara ketat.

"Kalau benar-benar orang tinggal di rumah, PSBB serius itu sekarang lebih terkendali. Tapi kita tidak serius, kita tidak mengerti apa itu PSBB," kata Pandu.

(jnp/dal)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER