Jakarta, CNN Indonesia --
Kewajiban pendaftaran Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) dinilai terburu-buru, yang diduga terkait pengendalian konten. Sementara, aturannya rentan berubah karena cuma berdasarkan peraturan menteri.
Kebijakan itu diatur dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 5 Tahun 2020 tentang PSE Lingkup Privat. Kementerian pun menetapkan tenggat awal pendaftaran pada 21 Juli.
Pelaksanaannya bak drama; publik sempat dibuat deg-degan dengan ancaman blokir terhadap platform 'sejuta umat' seperti WhatsApp, Facebook, hingga Gmail. Untungnya, pendaftaran dan komunikasi dilakukan di detik akhir. Terlebih, Kominfo menerapkan surat teguran dengan tempo 5 hari kerja.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tenggat kedua, 29 Juli, pun terlewati. Tak terdaftar dan tak bisa dikontak hingga tenggat, PayPal, Yahoo!, Steam, DoTA, CS Go, Origin.com, dan epicGames kena blokir.
Warganet pun mengamuk lewat #BlokirKominfo, yang sempat memuncaki trending topic Twitter, sebagai bentuk protes terhadap kebijakan PSE. Netizen juga menyindir pembiaran situs judi online, yang bahkan daftar PSE, sementara platform berguna malah diblokir.
Salah satu pejabat Kominfo sempat menyebut platform pendaftar PSE tertentu yang dituding netizen bukan judi online. Namun, itu kemudian dibantah sendiri oleh Menkominfo Johnny G Plate lewat pemblokiran beberapa situs judi.
Ruby Alamsyah, CEO Digital Forensic Indonesia, menilai penerapan aturan ini terlalu cepat, bahkan sebelum Undang-Undang Perlindungan Data Pengguna (UU PDP) disahkan.
"Dengan tidak ada UU PDP terkesan aturan ini tuh sedikit mendahului dan terlihat urgensinya untuk hal lain," ujar dia, lewat sambungan telepon kepada CNNIndonesia.com, Rabu (3/8) dari San Fransisco, AS.
Diberitakan sebelumnya, Komisi I DPR menargetkan pengesahan RUU PDP pada Agustus ini. Pembahasannya kini masuk tahap sinkronisasi usai rampungnya pembahasan semua daftar inventarisasi masalah (DIM).
Salah satu yang sudah disepakati adalah Badan Pengawas Data Pribadi langsung berada di bawah Presiden, bukan Kominfo atau lembaga lainnya.
Ruby melanjutkan regulasi ekosistem digital dan perlindungan data pribadi ini sebenarnya sudah lazim diterapkan di negara atau zona ekonomi lain, seperti di Uni Eropa. Namun, dasar aturannya adalah General Data Protection Regulation (GDPR), perundangan yang mengikat semua anggota Uni Eropa.
Menurutnya, GDPR memerinci soal sanksi, denda, dan detail informasi apabila PSE tak mematuhi aturan.
"Kalau kontrol di luar hal seperti ini diatur dalam sebuah undang-undang, salah satunya GDPR Uni Eropa. Pokoknya mengutamakan penggunanya di Eropa," tutur dia.
Sementara, PSE diatur oleh Peraturan Menteri, yang penerapannya "berpotensi goyah jika menteri itu diganti".
"Mustinya kalau ini serius sudah dibuat undang-undang. Padahal ini sebuah aturan yang bagus, musti dibahas komprehensif dan dibahas oleh semua stakeholder," ujar Ruby.
Kenapa penerapannya terkesan terburu-buru? Ruby menduga pemerintah ingin mengontrol informasi di media sosial.
"Pendaftaran-pendaftaran PSE itu baik itu secara administratif, informasi teknis, diharuskan mempunyai fitur pengaduan agar segera bisa take-down konten tertentu, baik melalui pemerintah atau pengguna, nah itu terkesan mau mengontrol konten, mau mengontrol internet, media sosial dan lain-lain," tuturnya.
Senada, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan mengatakan aturan PSE ini berpotensi memicu sensor berlebihan oleh platform.
"Di satu sisi, moderasi konten yang lemah berisiko mengakibatkan beredarnya materi-materi berbahaya. Tetapi moderasi konten secara besar-besaran justru dapat berujung pada penyensoran yang berlebihan oleh platform akibat mandat yang diberikan oleh pemerintah," demikian dikutip dari siaran pers CIPS.
Menurut dia, Pemerintah mestinya menerapkan ragam pilihan sanksi sebagaimana yang lazim diterapkan di internal platform-platform user generated content (UGC) seperti Twitter, Facebook dan YouTube.
Contohnya, menurunkan peringkat (downranking), demonetisasi, menandai konten dengan keterangan penjelas, membatasi akses dengan tolak ukur usia, dan memberikan peringatan kepada pengguna tentang unggahan-unggahan yang berpotensi sensitif dan berbahaya.
Sementara, Permenkominfo No. 5 Tahun 2020 hanya memberi "dua pilihan ekstrem, yaitu menghapus atau membiarkan konten yang dilaporkan".
Padahal, kata Pingkan, moderasi konten mestinya dipahami secara lebih luas sebagai tindakan yang membatasi penyebaran konten dan langkah-langkah yang bersifat mitigasi, bukan cuma penghapusan.
"Akibatnya, muncul risiko moderasi konten yang berlebihan yang tentu saja mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat," ujar Pingkan.
Selain itu, lanjut dia, juga terdapat "potensi pemusatan kekuatan pada pemerintah dengan adanya ketentuan mengenai wewenang Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dalam hal pemutusan akses terhadap konten-konten digital".
Masalah data pribadi di halaman berikutnya...
Alih-alih melindungi data pribadi, Pingkan menilai Permenkominfo tersebut mengikat platform untuk membuka dan menyerahkan akses data dan juga sistemnya kepada pemerintah.
"Kebijakan ini perlu dievaluasi, apakah memang pemerintah sudah bisa menyediakan perlindungan terhadap data yang memadai dan menjamin kerahasiaannya," jelas dia, dalam keterangan tertulis.
Pasal 21 Permenkominfo 5/2020 menyatakan bahwa PSE Lingkup Privat wajib memberikan akses terhadap Sistem Elektronik dan/atau Data Elektronik kepada:
(a) kementerian atau lembaga dalam rangka pengawasan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
(b) APH dalam rangka penegakan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 3 ayat (4) butir (i), menyebutkan setiap PSE Lingkup Privat wajib melampirkan surat keterangan yang menyatakan bahwa mereka menjamin dan melaksanakan kewajiban pemberian akses terhadap Sistem Elektronik dan Data Elektronik dalam rangka memastikan efektivitas pengawasan dan penegakan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, di dalam dokumen pendaftaran wajibnya.
Penelitian CIPS menyimpulkan bahwa akses ke sistem milik PSE Lingkup Privat belum tentu pilihan terbaik dan pilihan ini harus diambil sebagai upaya terakhir setelah semua tindakan mitigasi keamanan informasi dilakukan.
Pakar keamanan siber sekaligus pendiri Ethical Hacker Indonesia Teguh Aprianto menilai Permenkominfo tersebut mengancam privasi pengguna platform lantaran sejumlah pasal karetnya.
"Jika platform ini ikut mendaftar, maka mereka akan melanggar kebijakan privasi mereka sendiri dan privasi kita sebagai pengguna juga akan terancam," ujar Teguh lewat akun kicauan di Twitter, Sabtu (17/6).
Pasal-pasal karet itu yakni pasal 9 ayat (3) dan (4) serta pasal 14 ayat (3) karena mengandung frasa "meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum". Sementara, Permenkominfo itu tak memuat penjelasan frasa itu.
"Nantinya bisa digunakan untuk 'mematikan' kritik walaupun disampaikan dengan damai. Dasarnya apa? Mereka (Pemerintah) tinggal jawab, mengganggu ketertiban umum," ungkapnya.
Dia menilai Pemerintah merancang pasal karet itu dengan tujuan agar bisa melakukan sensor konten.
"Apa jaminannya bahwa [peraturan] ini nantinya tidak akan disalahgunakan untuk membatasi atau menghabisi pergerakan mereka yang kontra pemerintah? Enggak ada kan?" cetus Teguh.
Di pihak lain, Kepala Indonesia Cyber Security Forum Ardi Sutedja menilai aturan PSE Kominfo ini tak mengekang kebebasan berekspresi.
"Itu salah. Di mana ada syarat yang menyatakan bahwa itu akan dibatasi? Kecuali ada kewajiban pelanggaran pidana. Kalau ada indikasi pelanggaran hukum itu yang masuk kesana apart hukum. Semua bermain dalam kerangka penegakan hukum," ujar dia, kepada CNNIndonesia.com, Rabu (3/8).
Menurutnya, pemerintah tidak bisa serta merta meminta data kepada PSE tanpa persetujuan dan surat resmi. Bahkan, developer juga berhak menolak memberikan informasi penggunanya.
"Itukan semua ada aturan hukum enggak bisa sebagai penegak hukum dateng ke WhatsApp minta data," lanjut dia.
Ardi juga menyebut Permenkominfo 5/2020 ini selaras dengan RUU PDP, dengan alasan perundangan tersebut melindungi isi data yang dihimpun oleh aturan PSE.
"Sekarang kita mau ngatur PSE, gimana caranya kalau PSE itu kita enggak tahu di mana? Sekarang itu baru pendaftaran kan, tidak ada kewajiban membayar biaya dalam pendaftaran itu," ucapnya.
Respons Kominfo di halaman berikutnya...
[Gambas:Video CNN]
Dirjen Aplikasi dan Informatika Kominfo Semuel Abrijani Pangerapan, dalam sejumlah kesempatan, menjawab kritik-kritik terhadap aturan PSE ini.
Pertama, soal data pribadi, kebijakan ini merupakan cara Pemerintah melindunginya, bukan malah 'mengintipnya'.
"Pendaftaran Sistem Elektronik merupakan wujud komitmen PSE untuk bersama Pemerintah menghadirkan perlindungan pengguna internet yang lebih kuat termasuk pelindungan konsumen, pelindungan data pribadi pengguna, serta pelindungan ruang digital yang aman serta produktif," dikutip dari siaran pers Kominfo.
Ia pun menyebut isu Kominfo dapat "mengintip" percakapan, termasuk di WhatsApp, lewat PSE "adalah informasi yang tidak benar".
Dia mengatakan Permenkominfo No. 5 Tahun 2020 tidak memberikan kewenangan bagi Kominfo untuk secara bebas mengakses percakapan pribadi masyarakat.
Pengaturan pemberian akses sistem dan dokumen elektronik dalam PM Kominfo 5/2020 hanya dapat dilakukan untuk keperluan penegakan hukum pidana, dan pengawasan, dengan syarat yang diatur ketat, antara lain harus menyertakan penetapan pengadilan.
Selain itu, mesti ada dasar kewenangan yang sah pada saat melakukan permohonan akses kepada PSE.
Kedua, soal kebebasan berpendapat. "Isu mengenai Pendaftaran PSE mengancam hak-hak sipil masyarakat adalah tidak tepat," ujar Semuel.
Kebijakan pendaftaran PSE ini merupakan upaya awal dalam menghadirkan ekosistem digital yang lebih akuntabel. Melalui kewajiban pendaftaran PSE, Pemerintah berupaya untuk semakin melindungi hak-hak masyarakat sebagai pengguna sistem elektronik.
Misalnya, dalam hal terjadi kasus pornografi anak. Jika PSE tersebut sudah terdaftar, Pemerintah sesuai PM Kominfo 5/2020 dapat menghubungi penanggungjawab PSE yang terdaftar untuk segera melakukan tindakan yang diperlukan.
Bentuknya, pemutusan akses, hingga memfasilitasi upaya penegakan hukum terhadap konten pornografi anak yang dimaksud.
Ketiga, soal sosialisasi. Dia mengatakan prosesnya sudah lama dilakukan.
"Sosialisasi atas kebijakan ini juga telah dilakukan sejak kurang lebih 1,5 tahun yang lalu. Jika PSE mengalami kendala pendaftaran pun, Kementerian Kominfo menyediakan bantuan dan pendampingan teknis," ujarnya, dikutip dari siaran pers Kominfo.
Pernyataan yang sama menyebut proses pendaftaran PSE merupakan suatu proses yang sangat penting untuk menjaga dan memperkuat tata kelola ruang digital Indonesia. Proses pendaftaran ini sebetulnya bersifat administratif, sederhana dan tidak berbayar (gratis).