Jakarta, CNN Indonesia -- Industri keuangan dalam negeri tengah diramaikan oleh terpilihnya nama-nama dalam seleksi tahap I calon petinggi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) periode 2017-2022.
Pada tahap pertama, Panitia Seleksi (Pansel) yang dikomando oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berhasil menjaring sebanyak 107 nama yang berasal dari bermacam-macam kalangan.
Pejabat pasar modal, bank sentral, Kementerian Keuangan, perbankan, asuransi, direksi perusahaan pelat merah hingga politikus turut meramaikan bursa persaingan wasit industri keuangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tim pansel calon komisioner OJK yang diketuai oleh Menkeu Sri Mulyani, meminta KPK menelusuri rekam jejak 107 nama calon komisioner OJK. Jakarta. Kamis, 8 Februari 2017. (CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Bersikukuh tak ingin lengser, bahkan tujuh anggota Dewan Komisioner (DK) OJK yang ada saat ini kembali mendaftarkan diri sebagai calon incumbent dan berhasil lolos pada tahap pertama.
Ketujuh anggota DK OJK itu antara lain Muliaman D. Hadad, Rahmat Waluyanto, Nelson Tampubolon, Nurhaida, Firdaus Djaelani, Ilya Avianti dan Kusumaningtuti Soetiono.
Sri Mulyani pernah mengungkapkan kriteria anggota DK OJK adalah mereka yang memenuhi kualifikasi, memiliki integritas, komitmen, serta rekam jejak kinerja yang baik. Hal ini penting, mengingat OJK merupakan regulator dan pengawas sektor keuangan yang merupakan salah sektor krusial dalam mendukung kestabilan perekonomian Indonesia.
Pernyataan mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu benar. Untuk mengawasi industri keuangan yang saat ini asetnya mencapai Rp16.600 triliun memang bukan hal yang main-main.
OJK adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2011 yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.
OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan.
Lembaga otoritas ini didirikan untuk menggantikan peran Bapepam-LK dalam pengaturan dan pengawasan pasar modal dan lembaga keuangan, serta menggantikan peran Bank Indonesia dalam pengaturan dan pengawasan bank, serta untuk melindungi konsumen industri jasa keuangan.
Lalu, berdasarkan PP Nomor 11 Tahun 2014, OJK juga berhak melakukan pungutan kepada tiap-tiap pelaku di industri keuangan sejak 1 Maret 2014 lalu.
Adapun jenis dan besaran pungutan yang dikutip dikelompokan dalam tiga jenis. Pertama yaitu biaya perizinan, persetujuan, pendaftaran dan pengesahan yang besarannya mulai dari Rp5 juta hingga Rp700 juta per perusahaan.
Pungutan jenis kedua yakni biaya penelaahan rencana aksi korporasi. Untuk jenis ini, OJK berhak mengutip hingga Rp1 miliar untuk setiap perusahaan yang ingin mengubah statusnya dari perusahaan terbuka menjadi perusahaan tertutup.
Jenis yang ketiga, OJK juga mengenakan biaya tahunan dalam rangka pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penelitian. Sebagai salah satu contoh, OJK membebankan Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat, Bank Pembiayaan Syariah, Asuransi Jiwa, Asuransi Umum, Reasuransi, Dana Pensiun Lembaga Keuangan, Dana Pensiun Pemberi Kerja, Perusahaan Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura dan Lembaga Jasa keuangan Lainnya dengan pungutan sebesar 0,045 persen (minimal Rp10 juta) dari aset. Terlepas dari prestise tersebut, kursi petinggi OJK memang cukup menggiurkan untuk persoalan gaji. Banyak yang menyebut, gaji yang dikantongi para petinggi OJK merupakan yang tertinggi di lingkup regulator industri keuangan Indonesia.
Salah satu sumber CNNIndonesia.com di Kementerian Keuangan menyebutkan, rata-rata gaji Dewan Komisioner OJK pada saat pertama kali dibentuk tahun 2012 lalu mencapai Rp130 juta hingga Rp150 juta per bulan. Ini belum termasuk tunjangan dan fasilitas yang bisa dinikmati sekelas pejabat negara.
Menurutnya, penetapan gaji ini sesuai dengan Undang-Undang OJK dan disesuaikan dengan standar yang wajar di sektor jasa keuangan atau regulator jasa keuangan.
Untuk gaji DK OJK selama masa transisi pada saat itu memang lebih rendah dibanding regulator dan praktisi pada sektor jasa keuangan lainnya. Saat itu, gaji Dewan Gubernur BI sekitar Rp130-150 juta, komisioner LPS berkisar Rp150-175 juta, dan direksi perbankan berkisar Rp200-300 juta
"Kita gunakan standar gaji BI (Bank Indonesia) dan LPS (Lembaga Penjamin Simpanan)," tuturnya.
Namun jika dikalkulasikan dengan tingkat inflasi yang terjadi selama lima tahun terakhir, ia menaksir rata-rata gaji DK OJK saat ini sudah mencapai Rp190 juta hingga Rp205 juta per bulan. Ekonom Senior Bank Mandiri, Andry Asmoro, mengatakan wajar jika gaji yang diterima DK OJK lebih tinggi dari bankir.
Menurutnya, selain mengurusi perbankan, OJK juga mengurusi industri pasar modal, keuangan non-bank, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan jasa keuangan lainnya.
"Kalau bankir hanya mengurusi perbankan. OJK bisa perbankan, pasar modal, dan lainnya, lebih banyak tugasnya," tuturnya.
Terlepas dari hiruk pikuk persaingan tersebut, Ketua Umum Perhimpunan Bank-Bank Nasional (Perbanas) Kartika Wirjoatmodjo berharap, siapapun DK OJK yang terpilih nanti mampu membawa industri keuangan Indonesia memitigasi risiko sektor keuangan di tengah ketidakpastian ekonomi dunia.
"Sektor keuangan ini adalah sektor yang sangat kompleks dan merupakan urat nadi di perekonomian. Jadi OJK sebagai regulator perbankan dan regulator industri keuangan secara keseluruhan ini memang harus diisi oleh orang-orang yang kompeten dan benar-benar harus bisa mengendalikan risiko jangka panjang," ujar Tiko.