Jakarta, CNN Indonesia -- Harga minyak memanas memasuki tahun anjing bumi. Dengan rata-rata harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) di angka US$60,9 per barel pada bulan lalu, lebih tinggi dari asumsi makroekonomi pemerintah yang dipasang US$48 per barel untuk tahun ini.
Meningkatnya harga minyak tentu membuat harga energi jadi mahal. Sebut saja Bahan Bakar Minyak (BBM) yang makin mahal atau harga elpiji 3 kilogram (kg).
Tentu saja, pemerintah perlu intervensi di kedua kebutuhan itu agar meroketnya harga energi ini tak membebani masyarakat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sayangnya, dompet negara tak terlalu tebal untuk menambal beban yang lumayan tinggi. Dalam realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Penyesuaian (APBNP) 2017, ternyata pemerintah membayar subsidi BBM, sebesar Rp97,6 triliun atau Rp7,7 triliun lebih besar dibanding pagu anggarannya yakni Rp89,9 triliun.
Dengan kondisi harga minyak dunia yang sudah lebih besar dari asumsi APBN, tentu saja realisasi subsidi energi di tahun ini diperkirakan membengkak. Adapun, pemerintah mematok subsidi energi di angka Rp94,5 triliun sepanjang tahun 2018.
Bukan tanpa alasan pemerintah mematok angka subsidi ini. Alasannya, pemerintah masih perlu membantu daya beli masyarakat berpendapatan rendah.
Hal ini tercermin dari tujuan subsidi, yakni 16,23 juta kilo liter (kl) BBM jenis Solar dan 6,45 juta kilogram (kg) elpiji yang disalurkan dalam bentuk elpiji bersubsidi bagi rakyat miskin dengan volume 3 kg.
Namun, kenaikan realisasi subsidi energi tetap saja membuat belanja pemerintah ikut menggembung. Besarnya belanja pun membuat defisit APBN berpotensi melebar.
Selain itu, hal tersebut bisa mengganggu target defisit APBN tahun ini yang dipatok di angka 2,19 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), atau lebih kecil ketimbang tahun lalu yakni 2,42 persen.
Penggelontoran subsidi energi ini sebenarnya memiliki tujuan mulia. Hanya saja, pemerintah perlu cekatan mengatur anggaran agar subsidi energi tak berubah jadi bahaya laten yang mengintai anggaran negara.
Direktur Eksekutif Petrominer Institute Komaidi Notonegoro menuturkan, ada kemungkinan realisasi subsidi energi tahun ini mengalami deviasi yang jauh dari targetnya.
Ia memperkirakan bahwa harga minyak akan berada di kisaran US$60 per barel hingga US$65 per barel, atau 25 persen hingga 35 persen dari asumsi harga ICP saat ini.
Sudah pasti, pemerintah tak bisa mengendalikan harga minyak karena ini sudah diatur melalui mekanisme permintaan dan penawaran. Adapun menurutnya, harga minyak masih perkasa di tahun ini karena perekonomian global mulai membaik dan investasi di bidang hulu migas menunjukkan arah pemulihan.
Melihat kondisi tersebut, ia menganggap bahwa pemerintah perlu realistis. Jika perencanaan sudah melenceng dari realisasi, pemerintah harus siap mengubah asumsi harga ICP dan anggaran subsidi energi.
Masalahnya, mengubah target-target ini perlu menempuh jalan panjang sebab memerlukan kesepakatan legislatif.
“Tentu harus dilakukan perubahan asumsi harga minyak. Kalau saat ini harganya US$60 per barel, secara penerimaan mungkin positif. Tapi ada asumsi belanja negara yang juga ikut berubah kalau harga minyak mengalami deviasi yang terlampau jauh,” ungkap Komaidi.
Ia menuturkan, langkah mengubah asumsi ini lebih baik ketimbang tidak sama sekali. Pasalnya, nanti yang menanggung selisih antara harga keekonomian BBM dan elpiji bersubsidi dengan harga jualnya adalah PT Pertamina (Persero).
Menurutnya, jika pembebanan subsidi sudah mengganggu badan pelaksana, artinya ada penyakit kronis di dalam penyaluran subsidi ini.
Memang, saat ini kondisi keuangan Pertamina masih membukukan laba. Adapun hingga kuartal III 2017 kemarin, perusahaan pelat merah ini masih membukukan laba US$1,99 miliar, meski angkanya turun 27 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya US$.2,83 miliar.
Tetapi jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, maka tekanan yang dihadapi Pertamina lambat laun akan dirasakan pemerintah, seperti minimnya dividen yang disetor ke pemerintah hingga risiko penyelamatan BUMN kalau memang kondisinya sudah kronis.
“Subsidi ini kan tugas negara, jangan sampai dibebankan ke luar APBN. Jangan sampai sudah dianggarkan, yang kena malah beban pelaksananya. Maka dari itu, kami menganggap bahwa pemerintah perlu realistis dalam membuat kebijakan anggaran,” papar dia. Senada dengan Komaidi, Peneliti Institute for Developtment Economic and Finance (INDEF) Eko Listyanto mengatakan bahwa merombak anggaran subsidi energi di dalam APBN Perubahan (APBNP) adalah solusi yang paling masuk akal. Sebab, jika pemerintah menyesuaikan harga BBM dan elpiji demi menekan subsidi, maka rentetan masalah baru akan timbul.
Yang pertama, tentu ini akan menyebabkan lonjakan inflasi bagi golongan harga yang diatur pemerintah (administered prices). Tentu saja, pemerintah tak mau mengulangi kejadian yang sama seperti tahun lalu, di mana inflasi golongan administered prices melonjak 8,7 persen.
Faktor kedua, tentu pemerintah tak mau kehilangan muka menjelang Pemilihan Presiden di tahun 2019 mendatang. Jika pemerintah menggaungkan kebijakan yang kurang populis, maka ini bisa dimanfaatkan oleh lawan politik dalam membuat sentimen jelang Pilpres.
“Saya rasa opsi terakhir di politik kemungkinan untuk mengubah harga energi ini kecil karena risikonya tinggi. Pemerintah tentu tidak mau berjudi dengan elektabilitas di tahun depan. Kalau memang ada perubahan harga, lawan politik bisa menilai bahwa pemerintah sekarang me-manage subsidi energi tidak kredibel,” jelas Eko.
Maka dari itu, ia menganggap penambahan anggaran subsidi sebenarnya opsi yang paling aman. Apalagi, dengan target defisit APBN tahun ini sebesar 2,19 persen PDB, pemerintah masih punya ruang fiskal yang cukup lebar dibanding tahun kemarin yakni 2,42 persen dari PDB.
Kalau pun belanja bertambah, tentu saja masih ada peluang besar bahwa defisit bisa berada di bawah angka 3 persen dari PDB sesuai Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
“Kemungkinan defisit membengkak sangat mungkin. Tapi karena pemerintah masih punya ruang yang sangat jauh, ini masih manageable, dalam konteks realokasi risiko fiskal masih terkendali. Memang, perlu dilakukan adjustment di dalam APBNP 2018 karena faktor minyak sangat krusial dan jadi titik lemah APBN,” tuturnya.
Meski demikian, pemerintah juga perlu memastikan bahwa penyaluran subsidi ini benar-benar tepat sasaran agar anggarannya efektif. Karena menurutnya, masih ada kemungkinan golongan masyarakat mampu masih menikmati subsidi, utamanya elpiji dengan volume 3 kg.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan timnya di pinggiran DKI Jakarta, warga golongan menengah kerap membeli elpiji bersubsidi karena jumlahnya banyak dan mudah dibeli di warung-warung.
Apalagi, kini banyak penjual eceran yang enggan menjual elpiji non-subsidi karena kurang laku ketimbang elpiji melon.
“Masalah governance subsidi ini juga tentu harus diperhatikan karena masih ada yang tidak tepat sasaran,” pungkas dia.
Kendati begitu, pemerintah tetap optimistis bahwa keuangan negara akan sehat meski harga minyak terus membara. Alih-alih menderita kerugian, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bilang bahwa negara justru mendapatkan manfaat dari kenaikan harga minyak.
Menurutnya, setiap kenaikan ICP sebesar US$1 per barel bisa meningkatkan penerimaan negara sebesar Rp1,1 triliun. Sementara itu, jika nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS melemah Rp100, maka ini bisa menambah pundi negara sebesar Rp2,1 triliun.
“Dan ini sudah netto, artinya revenue dikurangi spending yang related dengan ICP ini hasilnya positif,” paparnya.