Pertumbuhan ekonomi Indonesia jatuh hingga minus 5,32 persen pada kuartal II 2020. Ini menjadi yang pertama sejak kuartal I 1999 atau era Presiden Habibie.
Realisasi ekonomi kuartal II 2020 lebih parah dari proyeksi pemerintah. Menteri Keuangan Sri Mulyani misalnya, sebelumnya meramalkan ekonomi Indonesia hanya minus sekitar 4,3 persen pada kuartal II 2020.
Kemudian, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara memprediksi ekonomi minus 5 persen. Lalu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memperkirakan ekonomi Indonesia terkontraksi 3,4 persen pada kuartal II 2020.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat seluruh komponen pembentukan produk domestik bruto (PDB) hancur lebur sepanjang April-Juni 2020. Konsumsi rumah tangga sebagai penyumbang PDB terbesar saja minus hingga 5,51 persen.
Kemudian, investasi minus 8,61 persen, ekspor minus 11,66 persen, konsumsi pemerintah minus 6,9 persen, konsumsi Lembaga Non-Profit yang Melayani Rumah Tangga (LNPRT) minus 7,76 persen, dan impor minus 16,96 persen.
Tak hanya itu, hampir seluruh lapangan usaha juga mengalami kontraksi pada kuartal II 2020. Sektor transportasi dan pergudangan menjadi yang terparah karena mencapai minusnya sampai 30,84 persen.
Lalu, akomodasi dan makan minum minus 22,02 persen, jasa perusahaan minus 12,09 persen, jasa lainnya minus 12,6 persen, industri minus 6,19 persen, perdagangan minus 7,57 persen, konstruksi minus 5,39 persen, pertambangan minus 2,72 persen, serta pengadaan listrik dan gas minus 5,46 persen.
Sementara, hanya enam sektor yang masih positif pada kuartal II 2020. Detailnya, sektor pertanian tumbuh 2,19 persen, asa keuangan tumbuh 1,03 persen, jasa pendidikan tumbuh 1,21 persen, real estate tumbuh 2,3 persen, jasa kesehatan tumbuh 3,71 persen, dan pengadaan air tumbuh 4,56 persen.
Kalau sudah begini, hampir mustahil bagi Indonesia selamat dari resesi. Pasalnya, ekonomi belum tentu akan pulih cepat dari tekanan corona pada kuartal III 2020.
Ekonom Indef Tauhid Ahmad mengatakan konsumsi masyarakat saja yang menjadi andalan penopang pertumbuhan kinerjanya loyo. Padahal, pemerintah sudah lebih dari satu bulan melonggarkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di berbagai wilayah.
"Kalau dilihat realisasi kuartal II lebih parah dari proyeksi pemerintah. Kemungkinan besar kuartal III juga begitu. Indonesia hadapi resesi. Ini karena tidak ada perubahan signifikan padahal sudah melonggarkan PSBB. Situasi ekonomi hampir tidak bergerak," ucap Tauhid kepada CNNIndonesia.com, Rabu (5/8).
Konsumsi masyarakat, kata Tauhid, menjadi kunci pertumbuhan ekonomi ke depan. Sebab, perekonomian dalam negeri masih bergantung dengan daya beli masyarakat.
Berdasarkan data BPS kuartal II 2020, konsumsi masyarakat berkontribusi sekitar 57,85 persen terhadap pembentukan PDB. Kemudian, kontribusi investasi sebesar 30,61 persen, ekspor 15,69 persen, konsumsi pemerintah 8,67 persen dan konsumsi LNPRT 1,36 persen.
"Yang harus dibangkitkan dulu permintaannya dulu makanya," imbuh Tauhid.
Ia melihat berbagai upaya pemerintah dalam menyelamatkan ekonomi tak akan ampuh pada kuartal III 2020. Namun, ia melihat upaya itu bisa membuat kontraksi ekonomi tak sebesar yang terjadi pada kuartal II 2020 yang mencapai minus 5,32 persen.
"Kami prediksi untuk kuartal III 2020 minus 1,7 persen, kurang lebih. Jadi secara tahunan resesi," kata Tauhid.
Dalam ilmu ekonomi, suatu negara disebut resesi apabila ekonominya terkontraksi atau minus dalam dua kuartal berturut-turut. Artinya, untuk menentukan Indonesia masuk jurang resesi atau tidak hanya sekitar 2 bulan lagi.
Tauhid bilang ada beragam cara yang bisa dilakukan pemerintah untuk setidaknya menekan jatuhnya pertumbuhan ekonomi. Salah satunya adalah merombak skema penanganan pandemi virus corona.
"Skema-skemanya harus lebih didorong untuk mendongkrak konsumsi pada level masyarakat kelas bawah," ujar Tauhid.
Ia mengusulkan agar pemerintah menambah nilai bantuan sosial (bansos) yang diberikan dari Rp600 ribu per penerima menjadi sekitar Rp1 juta-Rp1,5 juta per penerima.
"Bentuknya tunai, karena dengan tunai nantinya masyarakat bisa belanja di sekitar rumah. Jadi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) juga tumbuh," terang Tauhid.
Sejauh ini, pemerintah telah menganggarkan dana untuk penanganan pandemi virus corona sebesar Rp695,2 triliun. Dana itu dialokasikan untuk beberapa sektor.
Rinciannya, untuk bansos sebesar Rp203,9 triliun, (UMKM sebesar Rp123,46 triliun, insentif usaha Rp120,61 triliun, kementerian/lembaga atau pemerintah daerah Rp106,11 triliun, kesehatan Rp87,55 triliun, dan pembiayaan korupsi Rp53,55 triliun.
Namun, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan anggaran yang baru terpakai 20 persen dari total dana yang dialokasikan. Jika dihitung, artinya dana yang terserap baru Rp139 triliun.
Untuk itu, pemerintah dinilai perlu segera menyerap anggaran yang dialokasikan untuk penanganan pandemi virus corona. Itu akan mendorong pertumbuhan ekonomi domestik.
Di sisi lain, Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal mengungkapkan Indonesia sebenarnya masih memiliki peluang untuk tak masuk ke jurang resesi. Artinya, ada potensi ekonomi domestik kembali positif pada kuartal III 2020.
"Kalau dilihat kegiatan ekspor dan impor sudah mulai meningkat, ini tanda-tanda bagus ada geliat industri," ucap Fithra.
Data BPS Menunjukkan nilai ekspor Juni 2020 meningkat 15,09 persen dari US$10,45 miliar menjadi US$12,03 miliar secara bulanan. Sementara, impor naik lebih tinggi sebesar 27,56 persen dari US$8,44 miliar menjadi US$10,76 miliar.
Selain itu, Fithra melihat mobilitas masyarakat mulai meningkat setelah pemerintah melonggarkan PSBB di sejumlah daerah. Makanya, ia berharap mobilitas itu bisa mendongkrak lagi perekonomian domestik.
"Kalau lihat tren pergerakan orang, Agustus 2020 ini akan normal. Ini tinggal bagaimana pemerintah bisa mempertahankan momentum positif ini," terang Fithra.
Lalu, ia menambahkan pemerintah bisa saja memberikan subsidi dalam melakukan rapid test atau tes PCR kepada masyarakat yang hendak bepergian ke luar kota. Dengan demikian, kinerja sektor transportasi khususnya pesawat terbang bisa kembali bangkit.
"Berikan subsidi gratis untuk tes PCR atau rapid test. Jadi beban protokol kesehatan tidak ditanggung masyarakat," ujar Fithra.
Jika ada subsidi dari pemerintah, otomatis permintaan untuk menggunakan transportasi udara akan kembali naik. Dengan demikian, hal itu akan mendorong pemulihan ekonomi setelah dihantam virus corona.
"Jadi ada peluang-peluang agar kuartal III 2020 tidak resesi meskipun peluangnya masih di tepian," pungkas Fithra.
(agt)