"Problemnya kenaikan suku bunga semakin membuat beban bunga utang meningkat tajam. Alhasil, ruang fiskal menyempit untuk dibelanjakan ke sektor produktif," imbuhnya.
Bhima menilai kalau pemerintah terus agresif berutang, ke depan bisa-bisa antara bunga utang dan anggaran perlindungan sosial plus subsidi, akan lebih besar bunga utang. Hal ini akan menciptakan overhang utang, situasi di mana pertumbuhan ekonomi suatu negara melambat karena utangnya cukup mahal.
Lebih lanjut, ia curiga tidak semua utang pemerintah untuk penanganan covid-19 seperti yang dikatakan Yustinus. Menurutnya, ada utang untuk pembiayaan proyek, belanja rutin, dan penerbitan utang baru untuk menutup kewajiban utang itu sendiri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Iya ada risiko tersembunyi utang yang harus dijelaskan ke publik, termasuk risiko pendanaan proyek yang sebelumnya skema B2B kemudian melibatkan APBN, itu juga risiko utang," kata Bhima.
Ia pun mengatakan ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menekan beban utang. Pertama, menaikkan rasio pajak terutama pengenalan windfall tax atau pajak tambahan di sektor berbasis komoditi.
Kedua, kelola belanja secara prudent, terutama untuk melakukan perencanaan infrastruktur secara matang dan berani memberhentikan mega proyek yang dianggap memboroskan anggaran. Ketiga, dorong industri manufaktur. Sebab, kontribusi manufaktur yang besar bagi ekonomi dan penerimaan pajak bisa tekan rasio utang.
Keempat, cari alternatif pembiayaan kreatif, misalnya debt for climate atau pengurangan beban pokok utang melalui program lingkungan. Kelima, tekan porsi SBN dari total utang karena bunga SBN cenderung mahal dibanding loan atau pinjaman.
Lihat Juga : |
Sementara itu, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita mengatakan memang ada banyak indikator yang bisa dipakai untuk menilai utang sebuah negara apakah masih sustainable atau justru sudah 'lampu kuning'.
Dari semua indikator tersebut, sebagian bisa saja memberikan justrifikasi positif, sebagian justru sebaliknya.
Namun, menurutnya ada dua sudut pandang yang jauh lebih penting. Pertama, perbandingan besaran utang dengan kemampuan membayarnya. Kedua, perbandingan besaran utang dengan daya ungkit utang tersebut terhadap ekonomi nasional.
Dalam perspektif pertama, Ronny sepakat dengan pemerintah bahwa rasio utang terhadap PDB masih jauh di bawah negara lain, apalagi negara-negara maju seperti Amerika, Jepang, Inggris, Jerman, atau negara berkembang dengan ekonomi yang dinamis seperti China atau Brazil.
Dengan kata lain, besaran utang RI dibanding dengan besaran perekonomian nasional masih bisa dibilang wajar. Terlebih, dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara disebutkan ULN boleh dilakukan hingga batas maksimum rasio utang terhadap PDB sebesar 60 persen.
Namun dari perspektif kedua, besaran utang Indonesia tidak proporsional dibanding daya ungkitnya terhadap perekonomian nasional.
"Pertumbuhan utang yang sangat cepat berbanding terbalik dengan pertumbuhan ekonomi yang terbilang standar, yakni 5 persen. Alhasil, rasio utang terhadap PDB bergerak sangat cepat dari akhir 2014 yang di bawah 30 persen, dalam waktu 8 tahun sudah hampir 40 persen terhadap PDB," kata Ronny.
Ia menilai jika pola ini dipertahankan, maka dalam waktu sepuluh atau maksimal dua puluh tahun ke depan, batas konstitusional 60 persen akan tersentuh. Lalu, mau tak mau aturannya harus direvisi agar tetap bisa berutang dengan pola yang sama.
Lihat Juga : |
Risiko lainnya, kata Ronny, pertumbuhan utang yang bergerak lebih cepat dibanding pertumbuhan ekonomi, pada ujungnya juga akan bergerak lebih cepat dibanding pertumbuhan revenue atau pendapatan negara.
Dengan begitu, anggaran negara akan lebih banyak tergerus oleh porsi cicilan utang. Hal ini, akan mengurangi anggaran pelayanan dasar dan anggaran pembangunan. Selanjutnya, satu persatu subsidi akan dicabut untuk menyikapinya.
Karena itulah mengapa membandingkan besaran utang dan pertumbuhan utang dengan raihan ekonominya harus dilakukan.
Kalau pertumbuhan utang cepat, tapi pertumbuhan ekonomi juga tinggi, maka revenue atau pendapatan nasional juga akan membesar secara cepat.
Lihat Juga : |
"Maka kemampuan bayar utang tetap terjaga di satu sisi dan rasio utang terhadap PDB juga tetap terjaga di level yang sama setiap tahun, karena PDB juga tumbuh tinggi," imbuh Ronny.
Ia pun menekankan point intinya adalah ke mana utang tersebut dibelanjakan. Apakah ke sektor produktif atau justru terpakai untuk biaya rutin dan operasional?
Kalau ke belanja produktif, maka semestinya pertumbuhan ekonomi juga tinggi. Tapi kalau terpakai untuk anggaran rutin dan belanja non produktif, maka wajar pertumbuhan utang justru tak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi.
"Jika pola seperti ini terus dipertahankan, ujungnya tentu akan membuat utang pemerintah menjadi tidak sustainable di satu sisi dan krisis utang di sisi lain," tandasnya.
Berdasarkan data Kemenkeu yang dibagikan oleh Prastowo, pada era SBY rasio utang terhadap PDB memperlihatkan tren penurunan.
Lihat saja, pada 2004, atau tahun pertama SBY menjabat, rasio utang pemerintah mencapai 57,4 persen. Angka ini turun dibandingkan rasio di tahun sebelumnya, yakni 60,2 persen.
Kemudian, pada 2005 rasio utang kembali turun ke level 48,1 persen. Lalu, turun lagi menjadi 39 persen pada 2006.
Rasio utang ini terus turun hingga akhir periode SBY di 2008. Pada tahun tersebut rasio utang turun menjadi 33 persen.
Pada periode kedua SBY atau di 2009, rasio utang terhadap PDB kembali turun menjadi 28,3 persen. Di tahun berikutnya pun turun lagi menjadi 24,5 persen.
Selanjutnya, pada 2011 rasio utang terhadap PDB turun kembali menjadi 23,1 persen dan pada 2012 turun lagi menjadi 23 persen. Namun, di akhir masa jabatan SBY, yakni 2013 rasio utang kembali naik menjadi masing-masing 24,9 persen. Lalu turun tipis menjadi 24,7 persen pada 2014.
Di era Jokowi, rasio utang terhadap PDB terlihat menunjukkan tren kenaikan. Pada 2015, rasio utang mencapai 27,4 persen. Angka ini naik dari rasio 2014 tadi.
Pada 2016, rasio utang kembali naik menjadi 28,3 persen. Rasio utang pun terus naik hingga akhir masa jabatan Jokowi periode satu. Pada 2017 naik menjadi 29,4 persen, 2018 naik menjadi 29,9 persen, dan 2019 naik menjadi 30,2 persen.
Pada periode kedua Jokowi atau 2020 rasio utang terhadap PDB kembali naik menjadi 38,7 persen. Lalu, naik lagi menjadi 41 persen pada 2021.
Sementara itu, pada 2022 rasio utang terhadap PDB naik menjadi 39,57 persen atau menembus Rp7.733,9 triliun. Mengutip buku APBN KiTa edisi Januari 2023, fluktuasi posisi utang pemerintah pada 2022 dipengaruhi oleh adanya transaksi pembiayaan berupa penerbitan dan pelunasan surat berharga negara (SBN), penarikan dan pelunasan pinjaman, serta perubahan nilai tukar.
"Meskipun demikian, peningkatan (utang Pemerintah Indonesia) tersebut masih dalam batas aman, wajar, serta terkendali diiringi dengan diversifikasi portofolio yang optimal," catat Kemenkeu dalam laporan tersebut.
Berdasarkan rinciannya, utang pemerintah Indonesia itu terbagi ke dalam beberapa jenis. SBN mendominasi mencapai Rp6.846,89 triliun alias setara 88,53 persen utang Indonesia.
Sedangkan 11,47 persen sisanya dalam bentuk pinjaman, yakni Rp19,67 triliun pinjaman dalam negeri dan Rp867,43 triliun pinjaman luar negeri.
Kepemilikan SBN saat ini didominasi oleh perbankan dan Bank Indonesia (BI), sedangkan kepemilikan investor asing terus menurun sejak 2019 menyentuh 38,57 persen.
Kemudian hingga akhir 2021 tercatat 19,05 persen dan per Desember 2022 kepemilikan investor asing dalam SBN hanya 14,36 persen.
Kemenkeu mengatakan hal tersebut menjadi upaya pemerintah konsisten dalam rangka mencapai kemandirian pembiayaan dan didukung likuiditas domestik yang cukup.
Namun, pemerintah akan terus mewaspadai berbagai risiko yang berpotensi meningkatkan cost of borrowing, seperti pengetatan likuiditas global dan dinamika kebijakan moneter negara maju.