ANALISIS

Amankah Utang Ribuan Triliun Era Jokowi?

CNN Indonesia
Kamis, 26 Jan 2023 07:04 WIB
Pengamat mengingatkan pemerintah untuk memperhatikan beban bunga utang terhadap total belanja pemerintah yang terus menanjak di tengah ancaman resesi.
Pengamat mengingatkan pemerintah untuk memperhatikan beban bunga utang terhadap total belanja pemerintah yang terus menanjak di tengah ancaman resesi. (CNN Indonesia/Safir Makki).
Jakarta, CNN Indonesia --

Utang luar negeri (ULN) tengah menjadi perdebatan di antara Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo dan Sekretaris Departemen IV DPP Partai Demokrat Hasbil Mustaqim Lubi.

Dalam akun Twitternya @Hasbil_Lbs, Hasbil mengklaim pemerintah saat ini akan meninggalkan utang mencapai Rp7.733,99 triliun. Ia mengatakan rasio utang saat ini memang berada di level 40 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

Meski demikian, pembahasan mengenai utang disebut harus merujuk pada acuan GUID 5250 Guidance on Public Debt yang tercantum dalam Laporan Review atas Kesinambungan Fiskal BPK 2020 yang pada 2021 tidak diterbitkan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Berdasarkan perhitungan, beberapa indikator telah melampaui batasan/threshold pada GUID 5250 Guidance on Public Debt," tulis Hasbil, dikutip Rabu (25/1).

Rincian indikator yang disebut telah melampaui target yaitu debt service to revenue yang nilainya 46,77 persen, lebih tinggi dari threshold Dana Moneter Internasional (IMF) sebesar 25 persen-35 persen dan threshold IDR sebesar 28 persen-63 persen.

Kemudian interest to revenue yang mencapai 19,06 persen, lebih tinggi dari threshold IMF sebesar 7 persen-10 persen dan threshold IDR sebesar 4,6 persen-6,8 persen.

Lalu, debt to revenue mencapai 368,99 persen, lebih tinggi dari threshold IMF sebesar 90 persen-150 persen dan threshold IDR sebesar 92 persen-167 persen.

Hasbil juga memaparkan data yang menunjukkan debt service to revenue, interest to revenue, dan debt to revenue konsisten naik sejak 2012 dan mencapai puncaknya pada 2020.

Menurutnya, tren atas ketiga indikator kerentanan utang tersebut menggambarkan laju penambahan utang dan bunga utang tidak sebanding dengan laju penerimaan negara yang akan digunakan untuk pembayaran keduanya.

Ia pun menduga jika pengelolaan utang dan penerimaan negara tetap menggunakan kebijakan saat ini, maka kesinambungan fiskal berisiko terganggu di masa mendatang.

Yustinus pun angkat suara. Ia menuturkan Kemenkeu juga membaca dan mempelajari Laporan Hasil Reviu Atas Kesinambungan Fiskal Tahun 2020 BKK tersebut.

Namun, menurutnya kondisi tersebut sudah terpaut dua tahun anggaran dari sekarang. Pun, 2020 merupakan tahun puncak himpitan pandemi covid-19.

"Di 2020 ekonomi melambat, penerimaan tertekan, tapi di sisi lain kita harus meningkatkan belanja untuk Penanggulangan covid-19 dan pemulihan ekonomi. Konsekuensinya: defisit APBN melebar," ujarnya melalui akun Twitter resmi @prastow.

Pada tahun ini, lanjut Yustinus, aktivitas mulai menggeliat kembali setelah pandemi beralih ke endemi. Berbagai indikator makroekonomi dan keuangan negara mengalami perbaikan, seperti pertumbuhan ekonomi. Maka dari itu, kondisi 2020 disebut tidak relevan jika dijadikan bahan diskusi pengelolaan utang saat ini.

Menurutnya, perbandingan rasio utang atas PDB Indonesia termasuk yang paling rendah di antara negara-negara ASEAN lainnya yakni 39,4 persen, lebih rendah dari Malaysia, Singapura, dan Thailand.

Di sisi lain, ia menjelaskan BPK merekomendasikan pemerintah perlu menetapkan strategi yang tepat untuk mencapai target fiskal yaitu defisit kembali pada batas tidak melampaui 3 persen dari PDB.

Ia mengatakan jika ingin membandingkan keadaan setiap rezim maka harus adil. Setiap rezim pasti meninggalkan utang serta kenaikan nilai aset, PDB, dan belanja negara. Ia mengatakan belanja negara, aset, dan PDB meningkat pada 2021 dibandingkan 2014.

Tak hanya itu, ia mengatakan analisis IMF terbaru menyebutkan bahwa utang pemerintah masih moderat dan tetap sustain, kepercayaan para investor tetap besar, peringkat kredit kita juga masih di Investment Grade.

Sementara, terkait indikator kerentanan fiskal yang mengacu pada batasan yang direkomendasikan IMF dan IDR, ia menjelaskan bahwa batasan indikator tersebut didasarkan pada pertimbangan batasan indikator kerentanan dalam kondisi normal atau sebelum adanya pandemi covid-19.

Namun, pemerintah disebut tetap memberikan perhatian dengan menyiapkan berbagai upaya yaitu optimalisasi sumber pembiayaan non utang (SAL dan SILPA), pinjaman lembaga multilateral dan berbasis penanganan covid-19 dengan bunga ringan, serta kerja sama dengan Bank Indonesia melalui SKB I hingga SKB III.

Lantas, aman kah rasio utang dan jumlah ribuan triliun di era Presiden Jokowi untuk hadapi ancaman resesi global 2023?

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menjelaskan patokan kesehatan utang bukan hanya indikator rasio utang terhadap PDB, tapi beban bunga utang terhadap total belanja pemerintah yang terus naik.

Pada 2023, rasio bunga utang dengan total belanja pemerintah pusat mencapai 19,6 persen. Jadi, kata Bhima, hampir seperempat belanja itu habis untuk bayar kewajiban bunga utang.

Bersambung ke laman berikutnya...

Perbandingan rasio utang pemerintah terhadap PDB era SBY dan Jokowi

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER