Beberapa waktu lalu, media sosial diwarnai dengan unggahan dugaan plagiarisme label fashion lokal. Kemiripan kedua label tersebut disebut terjadi pada warna dan juga desain model busananya.
Bicara soal plagiarisme, ini bukan hal baru yang muncul. Beberapa kasus dugaan penjiplakan juga sempat terjadi beberapa waktu lalu. Tak cuma di dunia fashion, kasus ini juga kerap terjadi di segmen dunia seni yang lain, musik misalnya.
Namun lambat laun, berbagai kasus ini pun menguap begitu saja tanpa ada kejelasan atau batasan jelas soal plagiat sebuah karya seni termasuk fashion. Tak adanya batasan dan kriteria seseorang menjiplak sebuah karya pun tak ayal membuat orang akhirnya menggunakan hal tersebut sebagai 'pembenaran' untuk meniru, menjiplak dengan embel-embel terinspirasi.
Pengamat fashion Dean Syahmedi mengungkapkan bahwa sebenarnya plagiarisme di dunia fashion sebenarnya bisa dilihat dari visualnya.
"Tapi kalau yang menjiplak itu yang secara visual, secara rancangan, sampai warna sama. Itu bisa dibilang menjiplak," katanya kepada CNNIndonesia.com.
Ali Charisma, Chairman Indonesia Fashion Chamber mengungkapkan bahwa secara pribadi menilai topik plagiarisme ini memang abu-abu.
"Itu tergantung sih sebenarnya. Karena kalau plagiasi dibilang plagiasi susah juga. Repot ya kita enggak bisa menuding suatu brand oh bahwasanya ini brand nya mirip dengan punya saya , ini menembak brand saya," ucapnya kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
Diakui dia juga, agak sulit untuk 'mengendalikan' kesamaan ide atau kasus duplikasi yang terjadi. Tren fast fashion yang menjamur saat ini, kata Ali, menjadi salah satu biang keroknya.
Fast fashion adalah istilah yang digunakan oleh industri tekstil atau mode yang memiliki berbagai model fashion yang berganti dalam waktu yang sangat singkat dan cepat.
Inspirasi dan duplikasi
Mungkin saja tren fast fashion memang punya andil. Brand-brand fashion besar pun juga banyak tak luput masalah plagiarisme itu.
Lalu apa yang membuat orang atau motivasi apa yang membuat mereka menciptakan desain atau motif yang mirip? Sahkah mengambinghitamkan inspirasi? Yang jadi masalah, terkadang, batas antara inspirasi dan duplikasi juga masih abu-abu.
Pengamat fashion Dean Syahmedi mengungkapkan di fashion plagiarisme memang berputar-putar.
"Hal ini dikembangkan di sana, dikembangkan ke sini. Biasanya itu dibilangnya inspirasi," katanya.
"Tapi, ini kebanyakan terjadi hanya di brand-brand yang laku. Ini indikator bahwa barangnya laku. Dia mencoba mengambil jalur rejeki yang sudah dibuka itu."
Namun apa batasan inspirasi, sejauh mana orang bisa mengambil inspirasi dari sebuah karya?
Dean mengungkapkan bahwa batasan tersebut hanyalah batasan moral, bukan hukum. Perkaranya pun bakal panjang dan jika dibawa ke hukum. Bukan cuma panjang urusan tapi juga menghabiskan waktu dan juga dana.
"Batasannya ini ya menurut saya seperti yang saya sebutkan, dari warna, visual, dan bentuk desain utama itu sudah bisa dibilang plagiarisme."
 Foto: AFP/GABRIEL BOUYS ilustrasi: Spanyol Fashion Week |
Senada dengan Dean, Ali juga mengungkapkan bias antara terinspirasi dengan duplikasi.
"Ini kan memang bias banget. Mungkin itu kalau ngomongin batasan antara menginspirasi atau mengcopy agak susah ya untuk khalayak umum.
"Di fashion kan kami mendesain dengan karakternya customer. Karakter customer itu kan ada yang feminin romantis, ada yang sporty, ada yang elegan, basic. Nah terus pelaku kita kan ratusan bahkan ribuan. Kemudian dari gaya itu, terus pasti ada kemiripan yang grup feminin yang grup apa," katanya.
Dicontohkannya, desainer kadang seringkali menuruti keinginan desainer perkara desain. Ada banyak kejadian juga terinspirasi itu bahwa si plagiator ini merupakan salah satu fans banget sebuah brand.
"Ketika mendesain, ada kemungkinan kebawa ada 'ngopynya', kemungkinan dengan kenaifannya, ngopy, atau dia bukan orang kreatif tapi orang bisnis yang emang pengen bikin baju kayak gini, kayak gitu."
Sementara itu, dari sisi desainer, disebut Ali sebenarnya lebih mudah dikenali perbedaannya. Terinspirasi itu bisa terjadi bahkan kerap terjadi namun bukan soal bentuknya, melainkan dari mood atau konsepnya.
"(Misalnya) Oh dia lagi mengolah brandnya terinspirasi dari wastra indonesia tapi disajikan kontemporer untuk kalangan muda. nah esensinya ini, target pasar ini kami buat inspirasi. Oh bajunya ini dibuat dari bahan tipis yang nyaman karena daerah tropis, apalagi nih, itu sangat wajar. Kalau gitu kita melihat target pasar yang besar. Saingan makin banyak ke depannya."
Soal plagiat di dunia mode, Ali mencontohkan kebaya Anne Avantie. Tak dimungkiri ada banyak orang yang dengan terang-terangan meniru kebaya milik desainer asal Semarang itu, bahkan kebayanya pun disebut sebagai kebaya Anne Avantie.
"Banyak orang nembakin bajunya mbak Anne, dengan gayanya dia. bukan desainer. Ya awam ya penjahit, semua nembakin bajunya mbak Anne untuk dijadikan sebuah kebaya.
"Hal ini saya lihat ada plus minusnya. Orang-orang ini, ya penjahit, awam, ini bukan saingannya mbak Anne, mbak anne enggak rugi. Itu sebenarnya dengan adanya dia dicopy. Malah siapa sih Anne Avantie? Orang yang tadinya gak tahu jadi tau gara gara ada kebaya Anne Avantie. Itu contoh yang sudah ada."
"Mungkin mbak Anne dirugikannya sedikit tapi menurut saya enggak. Target pasar beda. Ya emang mirip, ada di mana-mana, harganya murah."
Selain itu, kasus plagiarisme fashion juga kerap menimpa brand luar negeri yang di-Indonesia-kan, bahkan dijual terang-terangan di pinggir jalan dengan harga yang berbeda jauh. KW!
Beberapa brand fashion yang jadi langganan plagiarisme antara lain Polo KW, Armani KW, Off White, Louis Vuitton, Burberry, Gucci, dan lainnya.
"Brand-brand di Paris juga begitu, mereka ya, membiarkan saja karena terlalu besar mengatasinya."
"Karena kalau sampai ada yang copy itu berarti ada potensi pasar yang lumayan gede. menurut saya sebagai orang timur, lagi pandemi, kita selesaikan semua masalah dengan diskusi," kata Ali.
Hukum Indonesia soal plagiarisme
Memang kasus plagiarisme bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan dan musyawarah. Itu memang jalan terbaik, namun yang jadi pertanyaan, adakah payung hukum yang melindungi hal ini?
Dirjen Hak Kekayaan Intelektual Kemenkumham, Freddy Haris mengungkapkan bahwa di dunia fashion, ada hukum soal karya cipta.
Namun ada beberapa pasal HKI terkait hal tersebut. Beberapa di antaranya adalah UU nomor 30/2000 tentang rahasia dagang, UU no 31/2000 tentang desain industri.
"Ada tentang desain tata letak sirkuit terpadu. Tergantung dia melanggar cipta di sektor apanya. Ada juga kita itu namanya Hak Cipta di UU 28/2014. Ada tentang paten, ada tentang merek. Jadi HKI itu ada banyak dasar hukumnya."
"Intinya dia karya cipta, desain baju misalnya kalau hanya satu dua tapi kalau dia produksi cukup banyak itu namanya desain industri. Ada juga HKInya," ucap dia ketika dihubungi CNNIndonesia.com.
Hanya saja, berdasarkan hukum, belum ada persentase kemiripan berapa persen yang digolongkan sebagai plagiarisme. Hal ini pun tak dibantah oleh Freddy.
"Kalau di desain industri itu belum ada presentasi yang plek plek bisa menyebutkan plagiarisme atau apa, kita melihat satu pola (di toko pinggir jalan) dan kita terbayang itu polanya LV, itu sih udah jelas kan ketahuan. Gak perlu terlalu berpanjang2 buat lihat itu plagiarisme atau bukan," ucapnya.
"Itu kan bisa kita lihat kemiripannya dengan produk LV atau Bulgari misalnya. Jadi bisa kita lihat dengan mata telanjang kalau itu plagiarism."
"Kalau fashion ini UU nya cukup lama memang, karena kan kalau fashion di indonesia ini harusnya 3 bulan sekali berubah, nah UU desain kita itu belum terlalu mengcover seluruh soal fashion makanya terjadi sebuah gap di dalam penerjemahan fashion."
Untuk mencegah plagiarisme pada hasil karya seseorang, Freddy menyaranan untuk melakukan pendaftaran karya cipta. Kata dia, harus ada kesadaran untuk mendaftarkan ke DJKI.
"Karena kalau gak dicatatkan desain bajunya itu susah siapa yang duluan. Jadi pembuktiannya itu panjang lama, tapi kan kalau sudah dicatatkan itu kita jelas, oh tanggal pencatatan kita tgl sekian, motifnya seperti ini. Jadi kalau sudah dicatat lebih mudah melakukan pembuktiannya. Ini supaya aman juga hasil karyanya," kata dia.
"Saya selalu bilang, kita sering melakukan penegakan hukum karena pertama gak dicatat sehingga pembuktiannya siapa yg pertama itu bakal lebih panjang. Dia bilang misalnya si A udah lama punya desain itu tapi gak terekspos terus orang itu si B dia tampilkan di majalah mode, akhirnya kan keuntungannya ada di penjiplak si b itu karena dia lebih bisa membuktikannya."
Namun soal hak paten, Ali sebagai pelaku industri fashion punya alasan sendiri. Salah satunya adalah karena mahalnya harga mendaftarkan karya.
"Namanya desain tuh hampir nggak pernah didaftarin. Karena bakal merugi kalau semua desain didaftarin.
Mahal juga, mendaftaran desain. Kan banyak yang didaftarin, dari satu baju saja dari motif, bentuk , itu pun nggak bisa melindungi orang ngopy kita. Nanti bentuk persis, motif persis tapi bahannya digant orangnya ga bisa nuntut juga. Jadi juga repot sebenarnya.
"Nggak worth it secara bisnis karena masalahnya nanti ini brand tahun ini pakai itu, enam bulan lagi berubah pasti ada new collection. Yang lama kan enggak diminati. Kalau keluar biaya lagi untuk dipatenkan, ya rugi ya. Kecuali kalau sangat mass, misal satu tshirt bisa continue selama sekian tahun dengan jumlah besar, mungkin perlu diperhitungkan."
Dibanding bicara hukum, baik Ali maupun Dean menyebut bahwa masalah plagiarisme ini lebih ke arah masalah etika.
 Foto: Arsip Barli Asmara virtual fashion show Barli Asmara pret-a-porter, Nocturnal Hour |
"Kalau menurut saya sebagai profesi [pelaku], apalagi di fashion itu yang bisa dibicarakan secara etika," ucap Ali.
Hanya saja, Ali mengatakan peristiwa jiplak menjiplak karya ini juga harus mendapat respons dari masyarakat.
"Penting kita merespons plagiasi itu sendiri. Saya melihat tu brand yang dituduh sebagai plagiator itu anak-anak muda, saya enggak tahu ya. Kalau ngomongin salah ya mereka salah. Tapi menurut saya harus kita tangani dengan lebih bijaksana. Kita menangani industri fashion secara umum secara keseluruhan.
"Istilahnya dia melakukan kesalahan sekarang, bukan berarti dia akan melakukan terus kesalahan tersebut. Bisa jadi turn arround, jadi desainer yang bagus ke depannya. ini bisa jadi cambukan."
"Pesan saya bagi pebisnis untuk menghargai karya orang lain, lalu menghargai kemampuan imajinasi diri sendiri untuk berkreasi," kata Dean menambahkan.
"Kalau sekarang kita melakukan plagiarisme, ya akan dicap selalu ga akan hilang. Ya memang kuncinya harus saling menghargai."