Matahari baru beranjak dari peraduan. Nur Alia, peneliti Owa Jawa sudah sibuk mempersiapkan harinya. Ditemani oleh seorang asisten, Nur Alia berjalan kaki menembus lebatnya Hutan Petungkriyono di Pekalongan, Jawa Tengah untuk mencari lokasi yang tepat di mana bisa mendengarkan suara Owa Jawa.
Jika sudah mendapatkan lokasi, maka Nur Alia dan asistennya akan berada di lokasi hingga tengah hari untuk mengumpulkan data lapangan, yaitu merekam suara Owa Jawa serta data faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban, kecepatan angin dan intensitas cahaya.
Mahasiswi pascasarjana Institut Pertanian Bogor ini, sejak awal tahun meneliti bioakustika, yaitu menggunakan suara untuk mengidentifikasi individu Owa Jawa. Bersenjatakan mikropon dan alat perekam, Nur Aulia merekam suara Owa Jawa lalu menganalisa dengan piranti lunak di laptop. Suara yang dianalisa seperti sidik jari yang bisa untuk membedakan variasi setiap individu Owa Jawa.
Agar mendapatkan suara Owa Jawa yang bagus, lokasinya pun harus jauh dari keramaian, tidak terganggu suara motor, sungai atau malah suara musik dangdut yang disetel kencang oleh penduduk di sekitar Hutan Petungkriyono.
"Kadang lokasi Owa itu dekat sungai sehingga datanya kurang bagus," papar Nur Alia. Selain itu, penelitian ini juga terkendala hujan. Jika hujan mengguyur hutan Petungkriyono, Owa Jawa pun enggan bernyanyi.
Populasi Owa Jawa diperkirakan tak lebih dari tiga ribu individu yang hidup terpisah-pisah di 63 lokasi.
Menurut daftar merah IUCN (the International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) dalam lampiran I CITES (the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), Owa Jawa termasuk kategori terancam punah, sehingga perdagangan internasional hewan ini dilarang oleh CITES.
Berdasarkan penelitian Hadi Surono dari IPB, Owa Jawa mengonsumsi 47 jenis pakan yang mencakup 46 jenis tumbuhan dan satu jenis serangga.
Bagian pakan yang dikonsumsi owa jawa adalah buah, daun, dan bunga. Oleh karena itu, Owa Jawa berperan vital menjaga kelangsungan ekosistem hutan dikarenakan membantu penyebaran biji-bijian yang nantinya akan tumbuh menjadi pohon di hutan.
Arief Setiawan, direktur Yayasan Swara Owa memaparkan pada tahun 2010 melakukan survei di hutan Petungkriyono sekitar Desa Kayupuring, Pekalongan, Jawa Tengah. Survei menemukan 51 individu Owa Jawa dalam 20 kelompok.
Berdasarkan potensi habitat seluas 65,7 kilometer persegi, mereka memperkirakan total populasi di sana ada 497 individu, atau 7,6 owa per kilometer persegi.
Menurut pria yang akrab dipanggil Wawan itu, dari hasil survei tersebut Yayasan Swara Owa lantas memetakan ancaman-ancaman terhadap Owa Jawa. Ancaman terbesar adalah penebangan liar yang menggusur habitat Owa Jawa.
Hal itu diamini oleh Tasuri (54), warga Dusun Sokokembang yang pernah menjalani pekerjaan sebagai penebang pohon ilegal dan memburu burung liar. Pekerjaan melanggar hukum ini terpaksa dilakoni penduduk karena desakan ekonomi. Pembukaan hutan untuk lahan kopi juga kerap ditemui di Hutan Petungkriyono.
Bersama penduduk desa, Yayasan Swara Owa pada tahun 2012 merancang program Kopi untuk Konservasi dengan mengoptimalkan kopi hutan yang tumbuh di bawah naungan pohon tanpa harus merusak hutan. Salah satu yang beralih pekerjaan adalah Tasuri, dari pembalak dan pemburu burung kini menekuni pengolahan kopi.
"Awalnya jadi pemburu burung, beralih jadi petani kopi, lebih asyik," ujar Tasuri saat ditemui CNNIndonesia.com pada pekan lalu.
Tasuri bersama beberapa mantan pemburu lainnya belajar pengolahan kopi. Dimulai dari proses panen dengan memilih biji kopi yang telah matang.
Kopi hutan Petungkriyono sudah ada sejak zaman Belanda. Terkadang petani kopi harus memanjat pohon kopi untuk memetik biji kopi, sebab pohon kopi menjulang tinggi dengan usia puluhan tahun.
Para petani sadar, tidak lagi menebang hutan untuk membuka lahan sebab hasil kopi hutan sudah mencukupi. Pepohonan hutan pun dibutuhkan sebagai naungan pohon kopi. Karena itu ekosistem hutan tetap lestari dan Owa Jawa pun tetap bisa hidup tanpa terancam kepunahan.
Istilah Kopi Owa disematkan. Kopi Owa bukanlah kopi yang berasal dari kotoran Owa, namun istilah untuk mengenalkan kepada masyarakat bahwa pelestarian Owa Jawa bisa melalui komoditas kopi.
Hasil panen lantas digotong pulang dan menjadi bagian para perempuan, anak dan istri petani kopi menyortir, mencuci dan menjemur biji kopi. Dulu, para penduduk menggunakan kuali untuk menyangrai biji kopi. Namun proses sangrai tradisional ini memakan waktu lama dan hasilnya kurang bagus.
Tasuri lalu membeli mesin sangrai berkapasitas satu kilogram. Kopi hasil sangrai berkualitas lebih bagus, sehingga harga jualnya pun lebih tinggi. Petani lain juga sering membawa biji kopi ke rumah Tasuri untuk disangrai.
Tasuri mengakui, kehidupan keluarga lebih baik sejak beralih dari pembalak dan pemburu lantas menekuni pengolahan kopi.
 Petani memanen kopi di Hutan Petungkriyono. Pohon kopi tumbuh secara alami di bawah naungan pohon-pohon yang lebih tinggi. (CNN Indonesia/Aditya H Wardhana) |
"Sebelumnya hidup was-was tidak tentram, karena memang ada larangan menjadi penebangan liar. Lebih enak sekarang menjadi petani kopi," ujarnya.
Juga sejak turun temurun, masyarakat Desa Mendolo, Kecamatan Lebakbarang, Kabupaten Pekalongan menjadi pemburu madu hutan. Mereka mencari sarang madu hutan di dalam Hutan Petungkriyono. Jika sudah menemukan sarang, mereka akan memanjat pohon dan mengambil sarang lebah untuk diperas madunya.
Menurut spesialis pembudidaya lebah Yayasan Swara Owa, Sidiq Harjanto, perburuan madu hutan merusak sarang dan mematikan koloni lebah, karena itu tidak lestari dan berkelanjutan.
Tahun 2015 Yayasan Swara Owa mengamati kebiasaan masyarakat Mendolo ini. Dua tahun kemudian Yayasan Swara Owa mendata jenis lebah yang hidup di Hutan Petungkriyono. Ditemukan lima jenis lebah dan dua dua jenis yang layak dibudidayakan.
Setahun kemudian bersama beberapa warga, Yayasan Swara Owa membuat demplot untuk belajar dan ujicoba budidaya lebah klanceng (Heterotrigona itama).
Tarjuki, salah seorang pemburu lebah madu hutan, kini beralih menjadi pembudidaya lebah klanceng. Dari 55 kotak, setiap bulan Tarjuki bisa memanen 10 botol madu dengan harga jual 200 ribu rupiah per botol.
"Lebih enak budidaya, karena madunya bersih. Sedangkan madu hasil berburu biasanya bercampur dengan sarangnya," tutur Tarjuki.
Selain itu, faktor resiko terjatuh dari ketinggian ketika berburu madu hutan juga menjadi pertimbangan Tarjuki untuk beralih pekerjaan.
Meski begitu, baru ada tujuh warga Desa Mendolo yang berminat membudidaya lebah.
"Kendalanya mengubah paradigma. Kalau berburu langsung dapat uang sedangkan budidaya butuh waktu enam bulan sampai setahun untuk panen. Ini membuat bosan. Tapi kita tetap buktikan budidaya lebih menguntungkan," papar Sidiq.
Yayasan Swara Owa terus melanjutkan program budidaya lebah, sebab menurut Sidiq lebah adalah spesies kunci yang mempunyai peran vital bagi hutan yaitu penyerbukan bunga.
"Ketika populasi lebah terjaga maka regenerasi hutan terjaga," tegas Sidiq.
Luasan Hutan Petungkriyono mencapai 7683 hektare. Di dalamnya tersimpan kekayaan biodiversitas seperti tumbuhan, hewan dan fungsi hutan sebagai tangkapan air sekaligus penjaga suhu.
Beberapa jenis primata yang bisa ditemui di Hutan Petungkriyono antara lain yaitu Owa Jawa (Hylobates moloch), monyet ekor panjang (Macaca fasicularis), rekrekan (Presbytis fredericae), dan lutung (Trachypitecus auratus).
Camera trap atau kamera perangkap yang dipasang sejak tahun 2019 berhasil merekam berbagai spesies seperti Macan Tutul (Phantera pardus), Kijang (Mutiacus muntjak), Garangan (Herpestes javanicus), Ayam Hutan Merah (Gallus gallus).
Artikel ini masih berlanjut ke halaman berikutnya...
Hutan Petungkriyono hingga saat ini di bawah pengelolaan Perhutani KPH Pekalongan Timur.
Menurut Administratur KPH Pekalongan Timur, Untoro Tri Kurniawan, untuk menjaga kekayaan keanekaragaman hayati di ekosistem Petungkriyono, setiap tahun petugas Perhutani melakukan survei biodiversitas.
Survei ini mendata populasi biodiversitas yang hidup di Hutan Petungkriyono.
Selain itu, petugas Perhutani juga memantau curah hujan, debit air dan laju sedimentasi di sungai-sungai yang mengalir dalam Hutan Petungkriyono.
Salah satu ancaman yang masih terjadi di Hutan Petungkriyono adalah perburuan liar. Hal ini disebabkan akses masuk ke hutan yang cukup banyak dan sulit diawasi.
Selain memasang tanda larangan perburuan dan patroli berkala, Perhutani berusaha menjalin kerjasama dan pemberdayaan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan.
"Respon masyarakat juga cukup bagus sering membantu kita jika ada pemburu dari luar yang datang ke sini" jelas Untoro.
Untoro mengakui, pihaknya tidak bisa bekerja sendiri dalam menjaga ekosistem hutan, dibutuhkan kerjasama dengan berbagai pihak seperti dengan Pemda setempat, kabupaten dan provinsi, BKSDA, termasuk organisasi swadaya masyarakat pemerhati lingkungan.
Salah satu yang berkolaborasi dengan Perhutani dalam melindungi Hutan Petungkriyono adalah Yayasan Swara Owa.
Program konservasi yang dijalankan seperti pendidikan dan pelatihan, beasiswa penelitian dan pemberdayaan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan.
Selain dari hibah, program konservasi didanai dari keuntungan penjualan kopi Owa.
Sejak tahun 2016, Swara Owa telah mengekspor kopi Owa ke Wildlife Reserves Singapore, yang mengelola sebagian besar kebun binatang di Singapura.
Setiap tahun, sekitar 1 ton green bean atau biji kopi hijau hasil olahan petani Petungkriyono dikirim ke Singapura lalu disangrai dengan komposisi Robusta 20 persen dan Arabika 80 persen dan disajikan kepada pengunjung kebun binatang Singapura.
Selain kualitas rasa dan aroma yang enak, para konsumen membeli Kopi Owa sebagai kesadaran turut mendukung gerakan konservasi hutan tropis dan primata.
"It is coffee you can drink with your conscience intact (ini adalah kopi yang bisa Anda nikmati dengan kesadaran nurani)," kata Vinita Ramani, asisten manager Konservasi dan penelitian, Wildlife Reserves Singapore (WRS) seperti dilansir Straits Times.
Namun dampak pandemi Covid19 tak terelakkan juga menerpa program konservasi. Penjualan kopi Owa ke Singapura praktis terhenti sejak Maret 2020 karena Singapura menutup kebun binatang di tengah pandemi virus corona.
Di gudang Swara Owa di Sleman, Yogyakarta, masih tersimpan berkarung-karung green bean Kopi Owa seberat hampir dua ton yang tidak bisa dikirim ke Singapura.
Dari pengalaman ini, Wawan menyadari pentingnya mempertimbangkan pilihan komoditas agroforestri berdasarkan ketahanannya dan untuk mengurangi ketergantungan pada satu komoditas.
Perlu dikembangkan hasil hutan lainnya yang memiliki nilai tambah konservasi seperti madu, aren dan kapulaga.
Liputan ini didukung program Inisiatif Media Keanekaragaman Hayati oleh Internews' Earth Journalism Network yang didukung oleh Arcadia - organisasi amal milik Peter Baldwin dan Lisbet Rausing.