Banyak yang menyebut Petualangan Sherina (2000) jadi gerbang kebangkitan film nasional. Itu betul, tapi Petualangan Sherina bukan sekadar fenomena bisnis dalam industri film dalam negeri. Mari saksikan lagi, lihat lebih dekat, temukan bahwa Petualangan Sherina adalah sebuah keindahan kolektif.
Kisah klasik sederhana, sajian musik yang indah, dan pesan aktivisme yang nyata merupakan tiga bahan dasar yang membuat Petualangan Sherina tersaji dengan lezat. Tak banyak film yang setelah 20 tahun berlalu masih sering disebut-sebut, Petualangan Sherina lah salah satunya.
Sebuah film keluarga yang mengisahkan Sherina (Sherina Munaf) yang harus beradaptasi dengan lingkungan dan orang-orang baru kala ia sekeluarga harus pindah dari Jakarta ke Bandung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai anak baru di sekolah, Sherina bertemu Sadam (Derby Romero), seorang anak nakal dan manja. Perundungan Sadam terhadap Sherina menjadi pemantik api konflik dalam film tersebut.
Sadam ternyata merupakan anak dari rekan kerja ayah Sherina. Hal tersebut membuat Sherina tak bisa menghindar begitu saja, ia harus melewati hari-harinya dengan berjumpa dengan Sadam.
REVIEW FILM LAINNYA |
Singkat cerita, mereka dihadapkan pada situasi persaingan menempuh sebuah perjalanan. Masalah yang terjadi membuat mereka harus berdamai dengan situasi saling benci untuk menghadapi masalah yang lebih besar.
Kedua bocah tersebut kemudian terjerumus pada masalah yang lebih besar yaitu konflik agraria yang melibatkan orang tua mereka dan seorang pebisnis jahat. Drama pertemanan Sherina dan Sadam menjadi medium dalam premis luas tersebut.
Film Petualangan Sherina menjadi salah satu mahakarya duet Mira Lesmana (produser) dan Riri Riza (sutradara). Meski dua dekade berlalu, adegan, dialog, dan lagu latar film tersebut masih saja mudah diingat kembali.
Namun beberapa hal dari film tersebut luput dibahas di ruang publik, salah satunya adalah bagaimana pesan-pesan aktivisme modern terpampang nyata dalam film tersebut.
![]() |
Entah berapa banyak orang yang sadar bahwa penokohan dalam film Petualangan Sherina mematahkan stigma deras dominasi dan citra kuat pria. Film tersebut jelas menggambarkan sosok Sherina sebagai jagoan, pun menampilkan betapa lemah dan pengecutnya Sadam.
Petualangan Sherina terang-terang menunjukkan penentangan terhadap konsep patriarki. Film tersebut menunjukkan bahwa feminisme dalam arti sempit bukanlah barang baru.
Hal ini cukup mengagumkan, melihat kala itu belum ada media sosial di mana isu-isu ketimpangan gender belum lalu lalang dibahas bebas di ruang diskusi publik.
Saat itu, atau mungkin hingga saat ini, tidak banyak sineas yang bisa menyelipkan pesan-pesan aktivisme modern dengan mulus dalam sebuah roman layar lebar. Tak sampai di situ, film tersebut juga mengangkat konflik klasik bidang agraria yang mungkin bisa jadi meta memori bagi anak-anak yang menonton kala itu.
Baik isu kesetaraan gender dan konflik lingkungan merupakan isu yang masih berjalan hingga saat ini. Hal tersebut membuat Petualangan Sherina sebagai entitas sosial tak mati ditelan waktu. Film tersebut masih amat relevan jika ingin dipertontonkan sebagai edukasi isu-isu sosial masyarakat tersebut.
![]() Hal lain yang menjadikan Petualangan Sherina menjadi fenomenal adalah unsur musik dalam film ini dieksekusi dengan apik. (Dok. Miles Production via IMDb) |
Jika film punya pengaruh besar dalam membentuk konstruksi sosial, maka sudah tentu film produksi Miles Films ini ada di gerbong yang tepat, meski eksekusinya tidak serealistis itu.
Beberapa unsur cerita terasa tidak wajar, salah satunya adalah pewatakan "jagoan" pada tokoh Sherina yang sedikit berlebihan. Betul kalau hal apapun mungkin terjadi, tapi seorang anak mampu melawan sekelompok penjahat seorang diri adalah hal yang spektakuler.
REVIEW FILM LAINNYA |
Premis kecil serupa bisa juga kita saksikan di film-film Home Alone. Mungkin saja kala itu Mira Lesmana sang pemilik ide cerita terilhami dengan ketangkasan Kevin McAlister dalam Home Alone, namun upaya yang dilakukan Sherina kurang jelas.
Ada hal yang cukup mengusik, yaitu Sherina yang jelas terlihat sedang akting. Tentu ini dilihat dari gaya berpikir 'akting yang bagus adalah ketika seseorang tidak terlihat seperti akting'. Hal ini juga ditunjang dengan beberapa dialog yang keluar dari mulut Sherina yang rasanya belum lumrah di usianya.
Untungnya, film ini merupakan film drama musikal, ketika banyak hal yang memang tidak lumrah terjadi di kenyataan, sebut saja bernyanyi-nyanyi di sela aktivitas sehari-hari.
Hal tersebut membantu penonton untuk meyakini dalam diri bahwa apa yang mereka saksikan adalah drama. Di balik hal-hal itu, skenario garapan Jujur Prananto ini bagus: sederhana tapi membekas.
Hal lain yang menjadikan Petualangan Sherina menjadi fenomenal adalah unsur musik dalam film ini dieksekusi dengan apik.
![]() |
Memang hal itu sudah seharusnya terjadi film drama musikal, namun tak banyak soundtrack film yang masih mampu eksis sekian lama bahkan ketika gaung filmnya sudah meredup. Itulah yang terjadi pada lagu-lagu dalam film ini.
Mira dan Riri tepat memanfaatkan popularitas Sherina sebagai penyanyi cilik yang namanya tengah melambung, ditambah melibatkan komposer senior Elfa Secioria sebagai otak di balik kesuksesan karier musik Sherina kala itu.
Lagu-lagu seperti Lihatlah Lebih Dekat, Persahabatan, Jagoan dan Bintang-bintang masih dinikmati orang. Keempat lagu tersebut masih didengarkan, meski melewati perubahan pola distribusi musik dari analog ke digital.
Tercatat hingga Selasa (15/9), akumulasi play count keempat lagu tersebut di layanan musik Spotify mencapai angka 3,6 juta. Angka tersebut melebihi jumlah play count 5 lagu terpopuler Naura, penyanyi cilik yang kini tengah naik daun dan memegang predikat Artis Solo Anak-anak Terbaik di AMI Awards dua tahun terakhir.
Lagu-lagu soundtrack yang eksistensinya panjang tidak lepas dari sebuah karya film yang sukses. Melihat suksesnya Petualangan Sherina di tangan Riri Riza, tidak berlebihan jika dirinya disebut sebagai salah satu sineas film anak terbaik di Indonesia.
Hal tersebut dibuktikan dengan lahirnya karya-karya indah lainnya seperti Untuk Rena (2005), Laskar Pelangi (2008), Sokola Rimba (2013), dan yang terbaru Kulari ke Pantai (2018).
Tentu menggarap film anak berarti bertaruh untuk berhadapan dengan dua dimensi cara pandang, yaitu cara pandang anak-anak dan orang dewasa. Setelah beberapa kali menonton film Petualangan Sherina di berbagai usia, rasanya film ini bisa memanjakan dua dimensi tersebut, tentu dengan kedalaman pemahaman yang berbeda.
Jika memang kabar produksi sekuel Petualangan Sherina benar adanya, berarti Mira Lesmana dan Riri Riza bertaruh besar. Modernisasi film lama, pembuatan sekuel dari fim fenomenal, bukanlah hal mudah. Tetapi seharusnya hal tersebut tidak jadi soal besar mengingat mereka pernah menggarap Ada Apa dengan Cinta? 2 (2016).
Bagaimana pun nanti soal sekuel Petualangan Sherina, yang jelas dua dekade lalu Mira Lesmana dan Riri Riza berhasil memenangkan pertaruhan biaya produksi besar untuk sebuah film, dan berhasil menciptakan salah cetak biru film di era industri film modern.
![]() |