Jakarta, CNN Indonesia -- Meski reformasi sudah bergulir hampir dua dekade, praktik korupsi ternyata belum lagi meredup. Di zaman Orde Baru, korupsi berlangsung sistematis, terpusat, dan tak ada yang berani menggugat. Di bawah sistem kediktatoran Orde Baru, korupsi menjadi penyakit akut. Ia baru terbongkar setelah ledakan protes rakyat dan gerakan mahasiswa pada 1998.
Setelah Soeharto turun dari kursi kekuasaan, penyakit korupsi rupanya masih menetap. Praktik korupsi bahkan berlangung lebih masif, dengan pemain beragam, dan menyebar ke daerah-daerah. Pada masa reformasi ini, bermunculan kekuatan politik baru dengan modus korupsi yang berbeda dari era Orde Baru.
Untuk lebih mengetahui perbandingan antara modus korupsi era Soeharto dan Reformasi,
Aghnia Adzkia dari CNN Indonesia mewawancarai Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan. Berikut petikannya.
(Baca Juga: FOKUS Mengingat Kembali Reformasi)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apa perbedaan korupsi era Orde Baru dan reformasi?Tentu perbedaan sangat besar karena korupsi sangat dipengaruhi oleh sistem politik di sebuah negara dan bagaimana juga kekuasaan dikendalikan atau tidak. Dalam konteks Orba kekuasaan sangat terpusat dan tidak ada lembaga lain yang bisa mengontrol kekuasaan Presiden sehingga bentuk penyalahgunaan wewenang, jabatan, kekuasaan, tersentral di Presiden.
Pada era reformasi, kekuasaan sudah terdistribusi ke pusat kekuasaan baru. Korupsi semakin menjalar dan tidak hanya dikendalikan oleh Istana tapi dilakukan juga oleh kelompok-kelompok yang memiliki kekuasaan baru. Istilahnya, terjadi desentralisasi korupsi.
Bagaimana modus korupsi saat zaman Soeharto?Karena ini model korupsi yang terpusat, seringkali yang dilakukan untuk korupsi dengan membuat peraturan-peraturan atau kebijakan negara yang tujuannya menguntungkan kroni, entah anak, keluarga, atau kelompok kecil dari kroni yang dimiliki Presiden. Misal kelompok bisnis dan politik. Bisa dilihat kasus Anthony Salim dan Liem Sioe Liong (Sudono Salim) yang berkembang bisnisnya saat Orba. Bagaimana yayasan yang dikendalikan langsung Soeharto memiliki aset besar tanpa ada pertanggungjawabannya atas aset. Contohnya Yayasan Supersemar. Darimana sumbernya? Itu dari sumber ekonomi negara.
Apa saja bentuk penyelewengan kebijakan era Soeharto?Definisi korupsi dalam Orba tidak bisa dipahami secara hukum saja. Ini meliputi aspek politik dan aspek bagaimana desain pertumbuhan ekonomi dicanangkan. Kalau mau melihat dari itu, bisa lihat kontrak pengadaan militer jatuhnya ke keluarga Soeharto, anaknya yang pemilik perusahaan bisa jadi
supplier.
Contoh lain kebijakan pembuatan Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC), organisasi yang dibentuk untuk mengelola monopoli sapta niaga cengkeh di Indonesia saat itu. Itu yang diuntungkan Tommy Soeharto. Banyak proyek skala besar lain seperti proyek Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan eksplorasi minyak, bukan hal kecil seperti pengadaan.
Memang ada juga pada zamannya ketika Orba berkuasa, ada tim khusus yang ditunjuk untuk mengelola pengadaan barang dan jasa, yang dinamai Tim Sembilan di mana Menteri Sekretaris Negara menjadi ketua. Di situ disinyalir terjadi praktik korupsi besar-besaran karena pengadaan monopoli memang rentan dengan penyimpangan. Namun secara umum, kasus penyalahgunaan saat Orba lebih menargetkan kebijakan negara dalam skala besar yang menguntungkan kroninya.
Bagaimana penegakan hukum atas korupsi di era Orba?Semua ini tidak bisa diperiksa atau tidak pernah bisa diminta pertanggungjawabannya untuk pengelolaan dana tersebut. Begitu juga konsensi kontrak kepada pihak kroninya. Padahal itu bentuk praktek kejahatan atau penyalahgunaaan.
Untuk korupsi di era reformasi, karakter yang dominan?Kalau dulu bupati tidak ada korupsi, sekarang jadi banyak. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga kalau dulu tidak ada yang dijerat korupsi, sekarang dijerat juga, panitia pengadaan juga. Kalau zaman Orba, model distribusi diatur istana. Kalau DPR dapat 'sesuatu' maka yang mengatur itu istana. Tidak bisa ada yang keluar dari pakem itu sehingga tidak ada masalah. Sekarang situasi ekonomi dan politik berbeda. Kekuasaan sudah didistribusikan ke berbagai tempat. Itu sumber korupsi baru muncul.
Bagaimana modus korupsi saat reformasi?Secara umum, modusnya penyuapan, pemerasan, manipulasi proyek, penggelapan uang negara, konflik kepentingan, penggelembungan anggaran, ada juga nepotisme dan kolusi. Itu sangat jelas dalam kasus pengadaan barang jasa.
Akan tetapi, secara umum inti korupsi suap. Artinya di dalam setiap komponen proyek negara ada feedback yang diberikan penyedia barang dan jasa kepada pemberi proyek dalam hal ini pegawai pemerintah atau pejabat negara.
Penggelembungan anggaran juga salah satu bentuk korupsi di mana alokasi anggaran yang sebenernya cukup untuk beli satu unit komputer misalnya, dibuat tidak cukup dan harga dinaikkan serta alokasi diperbesar.
Contoh lain adalah membuat perusahaan boneka atau bendera tapi untuk menguasai proyek APBD atau APBN. Yang paling umum kasus penyuapan, misal izin Hak Penguasaan Hutan (HPH), izin tambang, izin penggunaan lahan misal dari hutan lindung diubah jadi properti. Seringkali diperlukan pelicin. KPK banyak menangani kasus itu.
Sepakat dengan anggapan korupsi sudah sistemik? Memang dari sisi level sudah sistemik dan sudah melibatkan semua level pemerintahan. Misal contoh sederhana ketika pemilihan kepala daerah ada politik uang. Itu mencerminkan sesuatu yang tidak terjadi di Orba. Dia mengeluarkan anggaran besar dan akhirnya mendapatkan posisi kepala desa. Yang diuntungkan, misal konsensi lahan sawah atau proyek bantuan pemerintah daerah yang dialokasikan.
Sejauh ini, bagaimana kinerja penegakan hukum dalam memberantas korupsi?Indikator-indikator untuk melihat apakah sebuah program pemberantasan korupsi berhasil bukan dari sisi pemberatasan itu sendiri. Apakah pelayanan publik semakin meningkat kualitasnya? Apakah hak publik mendapatkan informasi terjamin oleh negara? Apakah misalnya urusan bisnis semakin cepat dan efisien? Apakah semakin jelas syarat-syarat dan standarnya kalau misal saya mau izin bangun perusahaan atau izin usaha? Bagaimana dengan informasi yang didapat, berapa hari, prosedur apa saja, dan berapa biayanya yang resmi? Itu seharusnya menjadi hak publik yang diketahui. Itu indikator lain.
Berikutnya, penegakan hukum juga melihat fungsi lembaga negara berjalan atau tidak. Ketika lembaga negara mengalami disfungsi dari seharusnya, berarti ada indikasi korupsi, misal izin membuat Kartu Keluarga dan Kartu Tanda Penduduk. Itu potensi pemerasan tinggi kalau tidak dikasih uang, izinnya tidak keluar. Kalau sekarang sudah ada perbaikan, pelayanan lebih baik, itu mengindikasikan ada perubahan. Ada di situ soal perubahan yang bisa dilihat sebagai keberhasilan perang melawan korupsi.
Apakah seluruh indikator sudah terpenuhi?Kemajuan belum memuaskan. Masih banyak yang harus dibenahi pemeirntah. Secara makro, dilihat dari Corruption Perceptions Index (CPI), Indonesia masih ada di negara terbelakang korupsi. Dari survei yang dilakukan KPK, misalnya, survei integritas lembaga negara, itu juga menunjukkan belum ada perubahan yang signifikan.
Akan tetapi kami harus optimis misalnya laporan keuangan pemerintah sudah ada perubahan administrasi keuangan negara. Tapi secara umum pekerjaan rumah masih banyak. Salah satunya yang terpenting bagaimana mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada fungsi penegakan hukum. Itu yang menjadi ruh dari program reformasi. Karena tanpa fungsi penegakan hukum secara efektif, tentu banyak masalah harus dihadapi.
Bagaimana misalnya penegakan hukum yang abai terhadap pelanggar lalu lintas, kacau balau karena penegak hukum tidak berdaya. Ketidakberdayaan karena bukan hanya kurang sumber daya manusia (SDM) tapi suap-menyuap yang terjadi pada lingkungan ini. Korupsi ini akibat langsungnya memandulkan fungsi lembaga negara untuk menjalankan kewajiban yang seharusnya.
Faktor yang menyebabkan indikator belum terpenuhi?Karena
political environment, yakni lingkungan politik ketika tidak mendukung upaya perubahan. Parlemen sebagai institusi politik dan partai politik sebagai salah satu pilar institusi politik yang menentukan berbagai arah kebijakan politik di Indonesia, masih sangat dipengaruhi atau terjangkiti persoalan berkaitan dengan korupsi.
Survei terakhir Poltracking Indonesia menunjukkan kalau publik masih melihat lembaga negara yang bermasalah adalah DPR dan partai politik. Ketika lingkungan politik tidak mendukung, apa saja yg dilakukan KPK menjadi berat dan sulit. ketika KPK coba menangani perkara korupsi di lembaga penegak hukum, KPK tidak mendapat dukungan. KPK diserang oleh berbagai partai politik. Ini tantangan terbesar Indonesia dalam memberantas korupsi.
Dilihat dari segi payung hukum, apakah sudah cukup?Sebenarnya sudah sangat banyak sekali, dan itu sudah lebih dari mencukupi bagi penegak hukum untuk menggunakannya secara efektif. Bukan faktor regulasi yang tidak tersedia jadi kendala pemberantasan korupsi tapi bagaimana menggunakan aturan yang ada secara efektif. Misalnya korupsi ada tujuh jenis di UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tapi yang ditangani hanya satu saja dan sisanya tidak pernah disentuh misalnya. Itu salah satu kelemahan menggunakan udang-undang dan instrumen hukum yang ada. Akan tetapi ya memang tidak dipakai secara efektif.
Lembaga penegak hukum sudah cukup dari sisi kuantitas? Seharusnya pemberantasan korupsi harus menjanjikan tapi faktanya bukan keberadaan lembaganya. Dalam kasus yang sekarang, lembaga penegak hukum masih memiliki persoalan untuk memperbaiki diri sendiri. Bagaimana mereka juga harus menyelesaikan problem korupsi yang masih ada di lingkungannya sendiri. Harus dibenahi dulu lembaga penegak hukumnya. Tanpa dibersihkan dari penyalahgunaan jabatan dan kekuasaan di dalam penegak hukum, ya tidak bisa.
Solusi ke depan?Kalau secara umum, strategi pemberantasan adalah penegakan hukum atau
prosecution dan pencegahan. Nah, persoalan penegakan hukum kasus korupsi yang tidak optimal. Kalau strategi menggoreng ikan besar tidak pernah dilaksanakan, ya tentu saja ongkos untuk melakukan korupsi akan selalu dianggap relatif kecil. Kalau insentif melakukan korupsi masih tinggi, penegakan hukum tidak efektif.