Jejak 17 Tahun Perkara Keluarga Cendana

Suriyanto | CNN Indonesia
Selasa, 11 Agu 2015 14:22 WIB
Panjang jalan perkara Yayasan Supersemar yang didirikan Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto. Negara ingin kembali menguasai
Presiden Soeharto. (Dok. Istimewa)
Penanganan perkara berlanjut. Pada 4 Februari 1999 Kejaksaan Agung memeriksa Siti Hardiyanti Rukmana, putri sulung Soeharto. Wanita yang akrab disapa Tutut adalah bendahara Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan yang dipimpin Soeharto.

9 Februari 1999, Soeharto melalui tujuh yayasan yang dipimpinnya mengembalikan uang negara sebesar Rp 5,7 triliun.

Pada hari yang sama pula, Jaksa Agung Andi Ghalib melaporkan hasil investigasi 15 kedutaan besar RI. Kedutaan menyimpulkan tidak ditemukan harta kekayaan Soeharto di luar negeri. Laporan dari Belanda menyebutkan ada sebuah masjid di daerah Reswijk, Belanda yang dibangun atas sumbangan Probosutedjo, adik tiri Soeharto.

Setelah mengembalikan uang negara ditambah tak ditemukan harta kekayaanya di luar negeri, Soeharto melalui kuasa hukumnya, Juan Felix Tampubolon, meminta Jaksa Agung menghentikan penyelidikan terhadapnya atas dugaan KKN. 

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

13 Maret 1999, kondisi kesehatan Soerhato mulai menurun. Ia menjalani pemeriksaan tim dokter yang dibentuk Kejaksaan Agung di RSCM.

Temuan mengejutkan malah diungkap media asing. Pada 16 Maret 1999
The Independent koran yang berbasis di London memberitakan Keluarga Cendana menjual properti di ibu kota Inggris itu senilai 11 juta poundsterling.

Namun dua bulan setelah pemberitaan itu, pada 27 Mei 1999 Soeharto malah menyerahkan surat kuasa kepada Kejagung untuk mencari fakta dan data berkaitan dengan simpanan kekayaan di bank-bank luar negeri seperti Swiss dan Austria. Ia juga mengulangi pernyataannya, bahwa dia tidak punya uang sesen pun.

Andi Ghalib bersama Menteri Kehakiman Muladi turun tangan langsung berangkat ke Swiss untuk menyelidiki dugaan transfer uang sebesar US$ 9 miliar dan melacak harta Soeharto lainnya pada 30 Mei 1999.

Namun hasilnya nihil. Muladi mengaku tidak menemukan simpanan uang Soeharto di bank-bank Swiss dan Austria.

Namun meski begitu, pemeriksaan terhadap kasus ini berlanjut. Tiga orang yang dikenal dekat dengan Soeharto diperiksa Kejaksaan Agung.
Ketiganya adalah Bob Hasan, Kim Yohannes Mulia dan Deddy Darwis yang diperiksa terkait yayasan Soeharto.

Saat kasus tengah diusut, kondisi kesehatan Soeharto terus menurun. Pada 19 Juli 1999, ia terserang stroke dan dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina.

Setahun mengusut harta Soeharto dan tak kunjung menemukan bukti cukup, Kejaksaan Agung menyerah. Pada 11 Oktober 1999, pemerintah menyatakan tuduhan korupsi Soeharto tak terbukti karena minimnya bukti. Kejagung kemudian mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap kasus Soeharto. Namun aset yang berhasil ditemukan diserahkan kepada pemerintah.

Rezim berganti. Presiden BJ Habibie digantikan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Dua bulan setelah menjabat, Gus Dur memutuskan untuk membuka kembali pemeriksaan kekayaan Soeharto.

Jaksa Agung baru yang ditunjuk, Marzuki Darusman mencabut SP3 kasus Soeharto. Soeharto sempat dipraperadilankan pencabutan SP3 itu namun ditolak oleh Pengadilan Jakarta Selatan.

Kejaksaan Agung mulai kembali mengusut kasus ini. Pada 14 Februari 2000 Kejaksaan Agung kembali memanggil Soeharto. Namun panggilan ini tidak dipenuhinya dengan alasan sakit.

Kejaksaan Agung akhirnya benar-benar menetapkan Soeharto sebagai tersangka pada 31 Maret 2000. Ia jadi tersangka penyalahgunaan uang dana yayasan sosial yang dipimpinnya.

Setelah jadi tersangka, kejaksaan kembali memeriksa Soeharto. Pemeriksaan pada 3 April 2000 digelar di kediamannya di Jalan Cendana. Namun baru diajukan dua pertanyaan, tiba-tiba tekanan darah Soeharto naik. Ia lantas dikenakan sebagai tahanan kota pada April 2000. Stattusnya dinaikan menjadi tahanan rumah pada Mei 2000. Aset dan rekening yayasan Soeharto juga disita Kejaksaan Agung.

Berkas pekaranya kemudian dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Agustus 2000. Menteri Hukum dan Perudang-undangan Yusril Ihza Mahendra saat itu menyatakan proses peradilan Soeharto akan digelar di Departemen Pertanian, Jakarta Selatan.

PN Jakarta Selatan selanjutnya memutuskan sidang pengadilan Soeharto digelar pada 31 Agustus 2000 dan Soeharto diperintahkan hadir.

Namun pada hari sidang, Soeharto tidak hadir. Tim Dokter menyatakan Soeharto tidak mungkin mengikuti persidangan.

Soeharto juga tidak hadir dalam sidang kedua pada 4 September 2000 dengan alasan sakit.

Karena kondisi kesehatan ini, hakim menetapkan penuntutan perkara pidana HM Soeharto tidak dapat diterima dan sidang dihentikan. Tidak ada jaminan Soeharto dapat dihadapkan ke persidangan karena alasan kesehatan. Majelis juga membebaskan Soeharto dari tahanan kota.

Sebelumnya hasil pemeriksaan menunjukkan, Soeharto sehat secara fisik, namun mengalami berbagai gangguan syaraf dan mental sehingga sulit diajak komunikasi.

Perkara Maju ke Meja Hijau

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2 3 4
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER