-- Mahkamah Agung mengoreksi putusan perkara Yayasan Supersemar sehingga menghukum keluarga Presiden Soeharto membayar Rp 4,4 triliun.
Sebelum putusannya dikoreksi, perkara ini telah berjalan sejak tahun 1998 silam. Bermula pada tanggal 1 September 1998 saat Kejaksaan Agung menemukan indikasi penyimpangan penggunaan dana yayasan-yayasan yang dikelola Soeharto.
Namun dugaan ini lantas dibantah Soeharto pada 6 September 1998. Melalui siara televisi swasta, Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), Soeharto membantah punya harta melimpah.
"Saya tidak punya uang satu sen pun," kata Soeharto saat itu. Dalam wawancara dengan televisi yang sahamnya dimiliki oleh keluarganya itu, Soeharto menyatakan tak memiliki kekayaan seperti pernah dilansir media massa.
Tanggal 9 September 1998, Tim Konsultan Cendana meminta kepada Presiden BJ Habibie serta Menteri Pertahanan dan Keamanan agar memberikan perhatian ekstra ketat dan melindungi Soeharto dari penghinaan, cercaan, dan hujatan.
Keinginan pemerintah untuk mengusut harta Soeharto didukung oleh luar negeri. Pada 11 September 1998, Pemerintah Swiss menyatakan bersedia membantu pemerintah RI melacak rekening-rekening Soeharto di luar negeri.
Pemerintah bergerak cepat, 15 September 1998 Jaksa Agung Andi Muhammad Ghalib ditunjuk sebagai Ketua Tim Investigasi Kekayaan Soeharto.
Bahkan enam hari setelah ditunjuk (21 September 1998), Andi berkunjung ke rumah Soeharto di Jalan Cendana, Menteng, untuk mengklarifikasi kekayaan penguasa Orde Baru itu.
Soeharto tak gentar. Pada 25 September 1998, ia yang datang ke Kejaksaan Agung. Tujuannya untuk menyerahkan dua konsep surat kuasa untuk mengusut harta kekayaannya, baik di dalam maupun di luar negeri.
Selanjutnya, pada 29 September 1998 Kejagung membentuk Tim Penyelidik, Peneliti dan Klarifikasi Harta Kekayaan Soeharto. Kepalanya saat itu adalah Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Antonius Sujata.
Badan Pertanahan Nasional pada 13 Oktober 1998 mengumumkan bahwa Keluarga Cendana memilihi tanah tersebar yang tersebar di 10 provinsi di Indonesia.
Tim Kejaksaan juga mulai bergerak dengan memeriksa data tanah dan peternakan Tapos milik Soeharto pada 28 Oktober 1998.
Pada 21 November 1998, Presiden BJ Habibie mengusulkan pembentukan komisi independen mengusut harta Soeharto. Namun usulan ini kandas.
Sehari setelahnya, Soeharto menulis surat kepada Presiden Habibie tentang penyerahan tujuh yayasan yang dipimpinnya kepada pemerintah.
Kandas dengan usulan pembentukan komisi independen pengusutan harta Soeharto, 2 Desember 1998 Presiden Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 30 tahun 1998 tentang pengusutan kekayaan Soeharto.
Jaksa Agung pada 5 Desember 1998 mengirimkan surat panggilan kepada Soeharto.
Jaksa Agung di depan Dewan Perwakilan Rakyat pada 7 Desember 1998 mengungkapkan hasil pemeriksaan atas tujuh yayasan milik Soeharto. Tujuh yayasan tersebut adalah Dharmais, Dana Abadi Karya Bhakti (DAKAB), Supersemar, Amal Bhakti Muslim Pancasila, Dana Mandiri, Gotong Royong, dan Trikora.
Sejumlah yayasan memiliki kekayaan senilai Rp 4,014 triliun. Jaksa Agung juga menemukan rekening atas nama Soeharto di 72 bank di dalam negeri dengan nilai deposito Rp 24 miliar, Rp 23 miliar tersimpan di rekening BCA, dan tanah seluas 400 ribu hektare atas nama Keluarga Cendana.
Pada 9 Desember 1998 Soeharto pertama kali diperiksa Tim Kejaksaan Agung menyangkut dugaan penyalahgunaan dana sejumlah yayasan, program Mobil Nasional (mobnas), kekayaan di luar negeri, perkebunan dan peternakan Tapos.
Saat itu, Soeharto diperiksa oleh Tim 13 Kejaksaan Agung yang diketuai Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Antonius Sujata selama 4 jam di Gedung Kejaksaan Tinggi Jakarta. Dengan alasan keamanan Soeharto, tempat pemeriksaan tidak jadi dilakukan di Gedung Kejaksaan Agung.
Adanya tanah luas milik keluarga Cendana dibenarkan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Hasan Basri Durin. Ia mengungkapkan, keluarga Cendana atas nama pribadi dan badan hukum atau perusahaan menguasai 204.983 hektare tanah bersertifikat hak guna bangunan dan hak milik.
Pemeriksaan bukan cuma terhadap Soeharto. Pada 30 Desember 1998 mantan Wakil Sekretaris Kabinet Bambang Kesowo juga diperiksa Kejaksaan Agung. Bambang dalam pemeriksaan menyatakan pembuatan Keppres dan Inpres tentang proyek mobil nasional Timor adalah perintah langsung dari mantan Presiden Soeharto.
12 Januari 1999, Tim 13 Kejaksaan Agung menyimpulkan, bahwa ada indikasi unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan Soeharto.
Penanganan perkara berlanjut. Pada 4 Februari 1999 Kejaksaan Agung memeriksa Siti Hardiyanti Rukmana, putri sulung Soeharto. Wanita yang akrab disapa Tutut adalah bendahara Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan yang dipimpin Soeharto.
9 Februari 1999, Soeharto melalui tujuh yayasan yang dipimpinnya mengembalikan uang negara sebesar Rp 5,7 triliun.
Pada hari yang sama pula, Jaksa Agung Andi Ghalib melaporkan hasil investigasi 15 kedutaan besar RI. Kedutaan menyimpulkan tidak ditemukan harta kekayaan Soeharto di luar negeri. Laporan dari Belanda menyebutkan ada sebuah masjid di daerah Reswijk, Belanda yang dibangun atas sumbangan Probosutedjo, adik tiri Soeharto.
Setelah mengembalikan uang negara ditambah tak ditemukan harta kekayaanya di luar negeri, Soeharto melalui kuasa hukumnya, Juan Felix Tampubolon, meminta Jaksa Agung menghentikan penyelidikan terhadapnya atas dugaan KKN.
13 Maret 1999, kondisi kesehatan Soerhato mulai menurun. Ia menjalani pemeriksaan tim dokter yang dibentuk Kejaksaan Agung di RSCM.
Temuan mengejutkan malah diungkap media asing. Pada 16 Maret 1999
The Independent koran yang berbasis di London memberitakan Keluarga Cendana menjual properti di ibu kota Inggris itu senilai 11 juta poundsterling.
Namun dua bulan setelah pemberitaan itu, pada 27 Mei 1999 Soeharto malah menyerahkan surat kuasa kepada Kejagung untuk mencari fakta dan data berkaitan dengan simpanan kekayaan di bank-bank luar negeri seperti Swiss dan Austria. Ia juga mengulangi pernyataannya, bahwa dia tidak punya uang sesen pun.
Andi Ghalib bersama Menteri Kehakiman Muladi turun tangan langsung berangkat ke Swiss untuk menyelidiki dugaan transfer uang sebesar US$ 9 miliar dan melacak harta Soeharto lainnya pada 30 Mei 1999.
Namun hasilnya nihil. Muladi mengaku tidak menemukan simpanan uang Soeharto di bank-bank Swiss dan Austria.
Namun meski begitu, pemeriksaan terhadap kasus ini berlanjut. Tiga orang yang dikenal dekat dengan Soeharto diperiksa Kejaksaan Agung.
Ketiganya adalah Bob Hasan, Kim Yohannes Mulia dan Deddy Darwis yang diperiksa terkait yayasan Soeharto.
Saat kasus tengah diusut, kondisi kesehatan Soeharto terus menurun. Pada 19 Juli 1999, ia terserang stroke dan dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina.
Setahun mengusut harta Soeharto dan tak kunjung menemukan bukti cukup, Kejaksaan Agung menyerah. Pada 11 Oktober 1999, pemerintah menyatakan tuduhan korupsi Soeharto tak terbukti karena minimnya bukti. Kejagung kemudian mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap kasus Soeharto. Namun aset yang berhasil ditemukan diserahkan kepada pemerintah.
Rezim berganti. Presiden BJ Habibie digantikan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Dua bulan setelah menjabat, Gus Dur memutuskan untuk membuka kembali pemeriksaan kekayaan Soeharto.
Jaksa Agung baru yang ditunjuk, Marzuki Darusman mencabut SP3 kasus Soeharto. Soeharto sempat dipraperadilankan pencabutan SP3 itu namun ditolak oleh Pengadilan Jakarta Selatan.
Kejaksaan Agung mulai kembali mengusut kasus ini. Pada 14 Februari 2000 Kejaksaan Agung kembali memanggil Soeharto. Namun panggilan ini tidak dipenuhinya dengan alasan sakit.
Kejaksaan Agung akhirnya benar-benar menetapkan Soeharto sebagai tersangka pada 31 Maret 2000. Ia jadi tersangka penyalahgunaan uang dana yayasan sosial yang dipimpinnya.
Setelah jadi tersangka, kejaksaan kembali memeriksa Soeharto. Pemeriksaan pada 3 April 2000 digelar di kediamannya di Jalan Cendana. Namun baru diajukan dua pertanyaan, tiba-tiba tekanan darah Soeharto naik. Ia lantas dikenakan sebagai tahanan kota pada April 2000. Stattusnya dinaikan menjadi tahanan rumah pada Mei 2000. Aset dan rekening yayasan Soeharto juga disita Kejaksaan Agung.
Berkas pekaranya kemudian dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Agustus 2000. Menteri Hukum dan Perudang-undangan Yusril Ihza Mahendra saat itu menyatakan proses peradilan Soeharto akan digelar di Departemen Pertanian, Jakarta Selatan.
PN Jakarta Selatan selanjutnya memutuskan sidang pengadilan Soeharto digelar pada 31 Agustus 2000 dan Soeharto diperintahkan hadir.
Namun pada hari sidang, Soeharto tidak hadir. Tim Dokter menyatakan Soeharto tidak mungkin mengikuti persidangan.
Soeharto juga tidak hadir dalam sidang kedua pada 4 September 2000 dengan alasan sakit.
Karena kondisi kesehatan ini, hakim menetapkan penuntutan perkara pidana HM Soeharto tidak dapat diterima dan sidang dihentikan. Tidak ada jaminan Soeharto dapat dihadapkan ke persidangan karena alasan kesehatan. Majelis juga membebaskan Soeharto dari tahanan kota.
Sebelumnya hasil pemeriksaan menunjukkan, Soeharto sehat secara fisik, namun mengalami berbagai gangguan syaraf dan mental sehingga sulit diajak komunikasi.
Tujuh tahun berselang, kasus Soeharto kembali mencuat. Babak baru kasusnya dimulai pada 9 Juli 2007. Kejaksaan Agung mendaftarkan gugatan terhadap Soeharto, Pembina Yayasan Supersemar dan Yayasan Supersemar sebagai badan hukum ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Soeharto dan yayasannya dituding menyalahgunakan uang Yayasan senilai US$ 420 juta dan Rp 185 miliar ditambah ganti rugi imateriil Rp 10 triliun.
Mediasi sempat digelar namun gagal. Pada 24 September 2007, sidang perdana perkara Supersemar digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Jaksa Pengacara Negara resmi menggugat Soeharto (tergugat I) dan Yayasan Supersemar (tergugat II) sebesar US$ 420 juta dan Rp 185 miliar ditambah ganti rugi imateriil Rp 10 triliun.
Di tengah bergulirnya kasus ini, Soeharto wafat pada 27 Januari 2008. Setelah ia wafat, lima anak Soeharto, kecuali Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto) resmi menggantikan ayahnya sebagai tergugat perkara Supersemar.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akhirnya menyatakan Yayasan Supersemar milik mantan presiden Soeharto bersalah karena menyalahgunakan dana dengan memberikan pinjaman dan penyertaan modal ke berbahai perusahaan.
Hakim saat itu memutuskan Yayasan harus membayar US$ 105 juta dan Rp 46 miliar kepada negara. Pengacara Yayasan Supersemar, Juan Felix Tampubolon langsung menyatakan akan mengajukan banding.
Dalam sidang banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 19 Februari 2009, hakim memutuskan Yayasan Supersemar harus membayar kerugian sebesar US$ 105.000.727,66 dan Rp 46.479.512.226,187. Yayasan milik mendiang mantan Presiden Soeharto itu dinilai menyalahgunakan dana dengan cara memberi pinjaman dan menyertakan modal ke berbagai perusahaan.
Keputusan tersebut diperkuat oleh putusan kasasi Mahkamah Agung.
Pada 28 Oktober 2010 majelis hakim yang diketuai Hakim Agung Harifin Tumpa menghukum Yayasan Supersemar membayar ganti rugi kepada negara.
Namun putusan itu salah ketik, yang mestinya tertulis Rp 185 miliar malah jadi Rp185 juta. Jumlah nol dalam ketikan tersebut kurang tiga. Kesalahan ketik ini membuat putusan tidak dapat dieksekusi. Keluarga Sooeharto tidak diperintahkan membayar ganti rugi kepada negara saat itu juga.
September 2013, jaksa mengajukan Peninjauan Kembali atas perkara Yayasan Supersemar. Sama seperti jaksa, Yayasan Supersemar juga mengajukan PK.
Juli 2015 Mahkamah Agung memutuskan mengabulkan PK Jaksa dan menolak PK Yayasan Supersemar sehingga keluarga Soeharto harus membayar ganti rugi Rp4,4 triliun kepada negara (berdasarkan kurs saat ini).