Jakarta, CNN Indonesia -- Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi mendakwa panitera Pengadilan Tata Usaha Negeri Medan Syamsir Yusfan telah menerima suap dari Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho dan istrinya, Evy Susanti. Syamsir menerima suap karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya.
Dalam pembacaan dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (10/9), Jaksa Fitroh Rohcahyanto mengatakan uang sebesar US$ 2 ribu diberikan Gatot dan Evy melalui kuasa hukumnya, Otto Cornelis Kaligis dan anak buahnya Moh. Yagari Bhastara Guntur alias Gery. (Baca:
Gatot Klaim Tak Tahu Penunjukan OC Kaligis sebagai Pengacara)
"Terdakwa Syamsir turut serta menerima hadiah atau janji yang patut diduga diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili," ujar Fitroh.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Uang tersebut digunakan untuk mempengaruhi putusan atas permohonan pengujian kewenangan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara tentang dugaan korupsi dana bantuan sosial (Bansos), Bantuan Daerah Bawahan (BDB), dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) serta tunggakan dana bagi hasil (DBH) Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.
Perkara ini dimulai ketika Kepala Biro Keuangan Pemprov Sumut Ahmad Fuad Lubis dan Plh. Sekda Sumut Sabrina mendapat panggilan Kejati Sumut terkait dugaan korupsi dana bansos dan dana bantuan lainnya. Khawatir adanya pelebaran perkara, Gatot dan Evy pun menemui Kaligis untuk menjadi kuasa hukum Fuad.
Selanjutnya, sekitar April 2015 di sebuah rumah makan di Medan, Fuad atas permintaan Gatot meneken surat kuasa kepada tim penasihat hukum OC Kaligis & Associates.
Usai persetujuan hitam di atas putih, Kaligis dan timnya segera bergegas mengatur strategi. Tujuannya satu, bagaimana caranya agar gugatan kliennya menang.
Pada pertengahan April 2015, Syamsir ditemui Kaligis, Gery, dan Indah di ruang kerjanya dan diminta agar dapat mempertemukan mereka dengan Hakim PTUN Medan Tripeni Irianto Putro.
Setelah menemui Tripeni, Kaligis memberikan uang sebesar SGD 5,000. Setelah itu, Kaligis memberikan uang sebesar US$ 1,000 kepada Syamsir.
Sekitar awal Mei 2015, Syamsir menanyakan rencana gugatan Kaligis kepada Tripeni yang ternyata telah didaftarkan. Hal tersebut langsung diberitahukannya kepada Gary.
Pada 5 Mei 2015, Syamsir kembali ditemui Kaligis dan Gery yang meminta dipertemukan dengan Tripeni. Dalam pertemuan tersebut, Kaligis memberi uang sebesar US$ 10,000 dalam amplop yang diselipkan di buku.
Sementara Gery menunggu proses pendaftaran gugatan di ruang kerja Syamsir. Setelah itu, Syamsir menyerahkan berkas gugatan dan meminta Tripeni untuk menjadi hakimnya.
Pada 18 Mei 2015, sidang pertama digelar. Sebelum sidang, Gery kembali menemui Tripeni untuk meyakinkan soal gugatan tersebut.
Lagi, Kaligis bersama Gery dan Indah menemui Syamsir untuk dipertemukan dengan Tripeni. Saat itu, Kaligis menyuruh Gery untuk menemui Hakim Dermawan Ginting. Gery pun akhirnya bertemu Dermawan atas jasa Syamsir.
Gery bertemu dengan Hakim Dermawan dan Hakim Amir untuk menyerahkan duit dalam amplop putih masing-masing senilai US$ 5.000.
Setelah penyerahan duit, Kaligis dan Indah kembali ke Jakarta, sementara Gery menetap di Medan. Kemudian pada 6 Juli 2015, para hakim bertemu dan membahas pesanan khusus Kaligis untuk memenangkan gugatan.
Hakim Dermawan dan Amir mengeluh lantaran duit yang diterima tak sesuai harapan. Menjawab keluhan, Hakim Ketua Tripeni mengatakan, "Itu kan hanya sebagian yang dikabulkan." (Baca:
Diperiksa KPK 12 Jam, Gatot Tegaskan Tak Terlibat Suap PTUN)
Keesokannya (7/7), Hakim Tripeni memutuskan untuk membatalkan surat panggilan Kejaksaan Tinggi untuk memeriksa Fuad. "Menyatakan keputusan termohon (Kejaksaan Tinggi) perihal permohonan keterangan kepada Bendahara Umum Daerah adalah penyalahgunaan wewenang," kata hakim dalam putusan seperti dikutip dalam dakwaan.
Usai sidang, Gary memberikan US$ 1,000 di dalam amplop kepada Syamsir. Ia pun menitip pesan melalui Syamsir, Kaligis ingin bertemu Tripeni.
Atas perbuatannya, Syamsir didakwa melanggar Pasal 12 huruf C atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(obs)