KALEIDOSKOP NASIONAL 2015

KPK 2015: Ketika Badai Menerjang dan Harus Terus Berjuang

Aghnia Adzkia | CNN Indonesia
Rabu, 30 Des 2015 16:29 WIB
Tahun 2015 adalah tahun yang sangat berat dalam perjalanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Plt pimpinan KPK beserta alumni lintas perguruan tinggi yang tergabung dalam Gerakan Anti Korupsi (GAK) melakukan aksi penolakan pembahasan RUU KPK di halaman Gedung KPK, Jakarta, Jumat 9 Oktober 2015. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

KPK menolak keras RUU KPK usulan DPR yang sempat disinggung dalam rapat Badan Legislasi, Selasa (6/10). Pelaksana Tugas Ketua KPK Taufiequrachman Ruki mengungkapkan enam poin penolakan diantaranya usia lembaga, penyadapan, penghapusan kewenangan penuntutan, penanganan perkara di bawah Rp50 miliar, penyadapan, penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan, dan penyidik independen.

Soal usia lembaga dinilai tak sesuai Pasal 2 angka 2 TAP MPR No 8/2001 MPR RI yang mengamanatkan pembentukkan KPK dan tidak disebutkan adanya pembatasan waktu. Komisi antirasuah sepakat menolak RUU KPK jika jaksanya tak dapat menuntut korupsi atau cuci uang dalam persidangan.

Sejak 2004 hingga semester I tahun 2015, KPK berhasil menggelar penuntutan 350 perkara dan sebanyak 297 perkara telah inkracht (berkekuatan hukum tetap). Sementara 313 perkara telah dieksekusi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain itu, KPK menilai, penanganan korupsi berdasar kepada subjek hukum, bukan kepada kerugian negara yaitu subjek hukum penyelenggara negara.

Poin selanjutnya, terkait penyadapan. Akuntabilitas penyadapan melalui perizininan Pengadilan Negeri seperti termaktub dalam Pasal 14 RUU KPK usulan DPR itu pun dinilai melemahkan KPK. KPK yang selama ini melakukan operasi tangkap tangan dalam masa penyelidikan, justru dapat terhambat dengan izin tersebut.

Kemudian, peraturan terkait penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan. KPK tak sepakat jika wewenang SP3 diberikan kepada komisi antirasuah tanpa batasan yang jelas. Ruki mengklaim penyelidikan yang dilakukan KPK telah sesuai prosedur.

Poin terakhir, terkait kewenangan rekrutmen pegawai mandiri termasuk mengangkat penyelidik, penyidik, dan penuntut umum. Seluruh pegawai harus diangkat langsung oleh pimpinan KPK berdasar kompetensi. Statusnya pun tak melulu polisi atau jaksa tapi berdasar kompetensi yang dimilikinya.

Menanggapi resposn RUU KPK, pemerintah melalui Menko Politik, Hukum, dan HAM Luhut Panjaitan menyampaikan empat poin revisi. Pertama terkait Dewan Pengawas. Menurut Luhut, pembentukan Dewan Pengawas bisa dilakukan sepanjang berpulang pada konsep awal pembentukan KPK.

Sementara itu, soal penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) harus didasarkan pada tiga syarat yakni tersangka meninggal dunia, mengalami cacat tubuh, misalnya karena penyakit stroke, dan ditemukannya alat bukti baru.

Selanjutnya, terkait penyadapan, Luhut mengatakan, hal itu baru dapat dilakukan penyidik komisi antikorupsi setelah mendapatkan izin dari otoritas internal KPK. Kemudian, keberadaan penyidik independen diperbolehkan selama memiliki kualifikasi yang jelas.

Setelah sejumlah kontroversi tak juga padam, DPR bertemu Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengenai RUU KPK pada Selasa (13/10). Pada saat itu, keduanya belum menghasilkan keputusan apapun dan sepakat menunda.

Namun, kejutan muncul dari parlemen yang mengesahkan RUU KPK masuk dalam Program Legislasi Nasional tahun 2015 dari usulan DPR. Keputusan itu diambil di penghujung tahun sebelum mereka reses hingga tahun 2016.

Geger Parlemen Gara-Gara KPK

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 ... 5 6 7 ... 9
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER