Jakarta, CNN Indonesia -- Harapan pesta demokrasi berjalan lebih efisien lewat
pemilu serentak tak berbuah manis. Keserentakan
Pileg dan
Pilpres 2019 justru melahirkan beragam masalah hingga berujung korban jiwa.
Ide pelaksanaan Pemilu 2019 secara serentak berawal saat akademisi Effendi Ghazali bersama Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak menggugat Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) ke Mahkamah Konstitusi (MK), 2013 silam. Gugatan itu teregister dengan nomor 14/PUU-XI/2013.
Dasar alasan mereka sederhana, yaitu penyelenggaraan pemilu secara serentak lebih efisien dari segi waktu maupun biaya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan hitungan anggota KPU ketika itu, Ferry Kurnia Rizkiansyah yang mereka kutip dalam permohonan, penyelenggaraan pemilu secara serentak dapat menghemat anggaran antara Rp5 sampai Rp10 triliun.
Sementara, berdasarkan hitungan anggota DPR dari Fraksi PDIP Arief Wibowo disebutkan bahwa penyelenggaraan pemilu secara serentak mampu menghemat dana sekitar Rp150 triliun atau sepersepuluh dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
MK pun mengabulkan sebagian gugatan tersebut. Majelis hakim MK membatalkan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2), dan pasal 112 UU Pilpres.
Pelaksanaan pemilu secara serentak pada kenyataannya tak mempengaruhi efisiensi anggaran. Pemilu serentak justru menghabiskan biaya lebih besar. Anggaran pemilu serentak tahun ini sebesar 24,8 triliun, kenyataannya lebih besar dari pemilu dan Pilpres 2014 yang menghabiskan 24,1 triliun.
MK saat mengabulkan permintaan pemilu serentak juga mempertimbangkan upaya untuk mencegah politik transaksional.
Merujuk pada penyelenggaraan Pilpres 2004 dan 2009 setelah Pileg, MK menemukan fakta capres terpaksa harus bernegosiasi (
bargaining) politik lebih dahulu dengan partai politik yang akhirnya mempengaruhi roda pemerintahan.
Negosiasi politik itu dinilai lebih banyak bersifat sesaat daripada bersifat strategis dan jangka panjang. Presiden sangat tergantung pada partai-partai.
Ketergantungan presiden terhadap partai dikhawatirkan dapat mereduksi kekuasaan kepala negara dalam menjalankan kekuasaan menurut sistem pemerintahan presidensial.
"Menurut Mahkamah, penyelenggaraan Pilpres harus menghindari negosiasi dan tawar menawar (bargaining) politik yang bersifat taktis demi kepentingan sesaat, sehingga tercipta negosiasi dan koalisi strategis partai politik untuk kepentingan jangka panjang," kata majelis Hakim MK dalam putusannya.
 Pemilu serentak membuat banyak petugas KPPS bekerja hingga larut malam. (ANTARA FOTO/Basri Marzuki) |
Tak hanya itu, penyelenggaraan Pemilu serentak 2019 juga dinilai sesuai dengan
original intent dan penafsiran sistematik Pasal 22E ayat (2) UUD 1945.
Pasal tersebut menyatakan:
Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Akibat putusan itu, pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) langsung menyusun UU Pemilu baru dengan memasukkan ketentuan pemilu serentak.
Setelah melalui proses pembahasan yang alot di DPR, khususnya perdebatan mengenai
presidential threshold, UU Pemilu akhirnya diketok pada 21 Juli 2017. Selanjutnya, Presiden Jokowi mengesahkan UU Pemilu itu pada 15 Agustus 2017 dan diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly sehari setelahnya.
Dengan UU Pemilu tersebut maka UU Pilpres; UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu; UU Nomor 8 Tahun 2O12 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD; Pasal 57 dan Pasal 6O ayat (1), ayat (2), serta ayat (4) UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Setelah digelar 17 April lalu, pelaksanaan pemilu serentak juga mengungkap masalah lain yang tak kalah penting selain anggaran yang membengkak. Yang paling tragis tentu saja jatuhnya korban dari panitia penyelenggara.
KPU mencatat hingga Selasa (23/4) malam, ada 91 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dunia. Mereka meninggal diduga karena kelelahan akibat beban kerja yang berat.
Sejumlah pengamat juga menyoroti ketimpangan isu antara Pileg dan Pilpres 2019. Pengamat politik dari Universitas Padjadjaran Firman Manan mengamini selama pemilu ini informasi seputar calon anggota legislatif (caleg) tenggelam oleh pemberitaan capres dan cawapres.
Menurutnya, masalah-masalah itu muncul karena penyelenggara tidak memperhitungkan sejumlah hal yang bersifat teknis. Puluhan petugas KPPS yang meninggal, Firman menduga karena panjangnya proses pemungutan suara.
Penyelenggara disebutnya tidak mempertimbangkan waktu penghitungan suara di tingkat tempat pemungutan suara (TPS) yang memakan waktu lama. Hal ini menguras tenaga petugas KPPS.
"Menurut saya, ada hal teknis tidak diperhitungkan. Penghitungan memakan waktu luar biasa banyak, di beberapa tempat bahkan hampir semua [TPS] jam 12.00 malam masih melakukan penghitungan," kata Firman kepada
CNNIndonesia.com, Selasa (23/4).
Ia pun menyebut pola penyelenggaraan pemilu secara serentak ini tidak mengantisipasi masalah minimnya informasi seputar caleg kepada pemilih.
"Pilihan informasi yang didapatkan pemilih, pemilih tidak cukup infomasi terutama di legislatif karena fokus di pilpres," tutur Firman.
Hal lain tak kalah penting, menurut Firman, Pemilu 2019 tidak efisien untuk mengurangi jumlah partai politik di Indonesia. Pasalnya, berdasarkan hasil hitung cepat sejumlah lembaga diketahui bahwa jumlah partai politik yang berhasil memenuhi ambang batas parlemen hanya berkurang satu.
"Penyederhanaan partai, kalau hasil hitung cepat hanya berkurang satu partai [artinya] tidak cukup efisien [pemilu] untuk mengurangi jumlah partai," katanya.
Lebih jauh, Firman mengungkapkan ketidaksepakatannya dengan pernyataan bahwa pemilu serentak membuat pola pembentukan koalisi partai berjalan lebih efisien, sebagaimana diungkapkan MK.
Firman menyebut sejarah menunjukkan bahwa peta koalisi partai senantiasa berubah setelah proses pilpres berlangsung. Dinamika peta koalisi ini disebut Firman juga berpotensi terjadi pascapenyelenggaraan Pemilu 2019.
"Pengalaman pemilu ke pemilu, koalisi elektoral sering berubah setelah pemilu selesai. Di 2019 apakah ada potensi seperti itu, sangat mungkin terjadi. Dengan asumsi, Jokowi menang apakah PAN dan Demokrat pindah atau sebaliknya juga jika Prabowo menang," kata dia.
Berangkat dari itu semua, Firman menilai penyelenggaraan Pemilu 2019 secara serentak perlu dievaluasi kembali untuk melihat sisi positif dan negatif yang dilahirkan.
Dia berpendapat revisi terhadap UU Pemilu perlu dilakukan bila hasil evaluasi nantinya menunjukkan lebih banyak dampak negatif yang lahir dari pola penyelenggaraan secara serentak ini.
"Kalau lebih banyak kerugiannya setelah kajian mendalam, ya direvisi. Tapi jangan karena melihat sesaat kemudian berubah [direvisi] karena undang-undang itu harapannya kan berlaku panjang," ujar Firman.