Menurutnya, masalah-masalah itu muncul karena penyelenggara tidak memperhitungkan sejumlah hal yang bersifat teknis. Puluhan petugas KPPS yang meninggal, Firman menduga karena panjangnya proses pemungutan suara.
Penyelenggara disebutnya tidak mempertimbangkan waktu penghitungan suara di tingkat tempat pemungutan suara (TPS) yang memakan waktu lama. Hal ini menguras tenaga petugas KPPS.
"Menurut saya, ada hal teknis tidak diperhitungkan. Penghitungan memakan waktu luar biasa banyak, di beberapa tempat bahkan hampir semua [TPS] jam 12.00 malam masih melakukan penghitungan," kata Firman kepada
CNNIndonesia.com, Selasa (23/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia pun menyebut pola penyelenggaraan pemilu secara serentak ini tidak mengantisipasi masalah minimnya informasi seputar caleg kepada pemilih.
"Pilihan informasi yang didapatkan pemilih, pemilih tidak cukup infomasi terutama di legislatif karena fokus di pilpres," tutur Firman.
Hal lain tak kalah penting, menurut Firman, Pemilu 2019 tidak efisien untuk mengurangi jumlah partai politik di Indonesia. Pasalnya, berdasarkan hasil hitung cepat sejumlah lembaga diketahui bahwa jumlah partai politik yang berhasil memenuhi ambang batas parlemen hanya berkurang satu.
"Penyederhanaan partai, kalau hasil hitung cepat hanya berkurang satu partai [artinya] tidak cukup efisien [pemilu] untuk mengurangi jumlah partai," katanya.
Lebih jauh, Firman mengungkapkan ketidaksepakatannya dengan pernyataan bahwa pemilu serentak membuat pola pembentukan koalisi partai berjalan lebih efisien, sebagaimana diungkapkan MK.
Firman menyebut sejarah menunjukkan bahwa peta koalisi partai senantiasa berubah setelah proses pilpres berlangsung. Dinamika peta koalisi ini disebut Firman juga berpotensi terjadi pascapenyelenggaraan Pemilu 2019.
"Pengalaman pemilu ke pemilu, koalisi elektoral sering berubah setelah pemilu selesai. Di 2019 apakah ada potensi seperti itu, sangat mungkin terjadi. Dengan asumsi, Jokowi menang apakah PAN dan Demokrat pindah atau sebaliknya juga jika Prabowo menang," kata dia.
Berangkat dari itu semua, Firman menilai penyelenggaraan Pemilu 2019 secara serentak perlu dievaluasi kembali untuk melihat sisi positif dan negatif yang dilahirkan.
Dia berpendapat revisi terhadap UU Pemilu perlu dilakukan bila hasil evaluasi nantinya menunjukkan lebih banyak dampak negatif yang lahir dari pola penyelenggaraan secara serentak ini.
"Kalau lebih banyak kerugiannya setelah kajian mendalam, ya direvisi. Tapi jangan karena melihat sesaat kemudian berubah [direvisi] karena undang-undang itu harapannya kan berlaku panjang," ujar Firman.
(wis/wis)