Jakarta, CNN Indonesia -- Sejak menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Susi Pudjiastuti tak lepas dari kontroversi. Setidaknya bagi kalangan yang merasa dirugikan oleh sejumlah kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan oleh sang menteri.
Beberapa kebijakannya yang menarik perhatian adalah soal pelarangan penangkapan ikan, kepiting, lobster, dan rajungan.
Mengapa Menteri Susi sangat melindungi ikan dan kepiting itu?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ikan Napoleon Wrasse (Cheilinus undulatus) adalah ikan karang berukuran besar dan anggota dari familia Labridae. Kementerian Kelautan dan Perikanan masih mendata populasi ikan ini. Meski begitu, diperkirakan jumlahnya tinggal 65 ribu ekor saja.
Penangkapan ikan ini memang ‘brutal’. Lantaran ia termasuk ikan pemalu, pemburu membunuhnya dengan racun. Alhasil, tak hanya ikan yang mati, terumbu karang pun rusak oleh racun tersebut.
Padahal, ikan Napoleon Wrasse termasuk ikan yang butuh waktu lama untuk mencapai usia matang untuk bereproduksi. Usia matangnya adalah 5-7 tahun, atau pada ukuran tubuh 40-60 centimeter. Ikan ini bisa mencapai ukuran 1,5 meter.
Di Malaysia dan Filipina penangkapan dan perdagangan ikan Napoleon sudah dilarang. Di Australia pun begitu.
Di Indonesia, habitat ikan ini berada di Sulawesi Utara, Bali, Raja Ampat, dan Nusa Tenggara Timur. Ia sudah masuk daftar merah IUCN atau berstatus Endangered pada 2004 dan masuk appendix II CITES pada 2005.
CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) adalah perjanjian internasional antarpemerintahan untuk memastikan bahwa perdagangan spesimen satwa liar dan tanaman tidak mengancam populasi mereka.
Kalau masuk daftar Appendix II, satwa itu memang belum sangat terancam punah, tapi berpotensi ke sana kalau perdagangannya tak dikontrol. Perdagangan internasional untuk komoditas yang termasuk ke dalam Appendix II harus memiliki izin ekspor atau sertifikat re-export. Keberlangsungan hidup baby tuna atau tuna anakan menjadi perhatian Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti juga. Dia khawatir populasi baby tuna di Indonesia terancam karena berkembangnya budi daya tuna di Australia, Jepang, Taiwan, dan Eropa.
Pembudidayaan ikan tuna membutuhkan baby tuna. “Baby tuna hanya ada di perairan Indonesia,” kata Menteri Susi pada akhir tahun lalu. Di tempat lain mungkin ada, tapi menurut dia, populasinya sangat kecil dibanding dengan yang hidup di perairan Indonesia.
Salah satu pusat habitat baby tuna adalah perairan di Teluk Tomini, Sulawesi Tengah.
Penangkapan baby tuna ini cukup mengkhawatirkan sang menteri karena memakai rumpon yang dipasang di kedalaman lebih dari 300 meter. Rumpon atau fish aggregating device dipakai untuk menarik gerombolan ikan supaya berkumpul dan kemudian ditangkap dengan mudah. Kepiting ini kerap juga disebut kepiting lumpur atau kepiting mangrove. Habitatnya tersebar luas, mulai dari Afrika Selatan, sepanjang pantai di Samudera Hindia, sampai ke Semenanjung Malaya, Jepang, Australia, dan kepulauan di Fiji dan Samoa, serta ke Amerika Serikat.
Jenis kepiting ini termasuk yang tinggi permintaannya dan mahal harganya. Tak heran banyak juga yang mencoba membudidayakannya, meski tingkat keberhasilannya masih rendah.
Demi menjaga populasinya, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 1 Tahun 2015 menyebutkan, kepiting Scylla sangat terlarang ditangkap dalam kondisi bertelur. Selain itu, ukuran yang boleh ditangkap adalah yang ukuran cangkang atau karapasnya, lebih besar dari 15 centimeter. Kepiting Scylla berukuran karapas lebih dari 15 centimeter sudah termasuk kepiting dewasa.
Rajungan ini mempunyai persebaran habitat yang luas juga. Mulai dari samudera Hindia sampai ke Samudera Pasifik bagian barat. Meliputi Jepang, Filipina, di seluruh Asia Tenggara dan Asia Timur, Indonesia, sampai ke Australia timur dan kepulauan Fiji.
Rajungan ini hidup di ekosistem perairan dangkal, termasuk di area karang, mangrove, dan rumput laut. Usia dewasanya adalah setahun dengan ukuran karapas (cangkang) maksimal 20 centimeter.
Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 1 tahun 2015 yang melarang penangkapan rajungan ini dalam kondisi bertelur. Selain itu, hanya rajungan berukuran karapas di atas 10 centimeter yang boleh ditangkap.
Negara yang paling banyak menangkap rajungan ini, menurut data Food and Agriculture Organization (FAO) di PBB, adalah Tiongkok, dengan volume 52.577 ton per tahun. Disusul Filipina dengan volume 34.076 ton per tahun. Kebanyakan ia dijual di pasar lokal. Harganya memang tak semahal kepiting Scylla. Lobster ini disebut juga spiny lobster atau lobster karang. Selain demand yang mengandalkan pasokan alami di lautan, menurut data Food and Agriculture Organization (FAO) di PBB, spesies Panulirus homarus mulai dibudidayakan di Lombok. Panulirus homarus yang berbobot 300 gram ke atas diminati konsumen di Tiongkok dan Taiwan, untuk dijadikan sashimi atau dimasak.
Tapi satu dari sekian spesies yang paling diminati konsumen di Tiongkok, sebagai pasar terbesar lobster ini, adalah Panulirus ornatus. Orang Tiongkok banyak menjadikannya sashimi. Ini lantaran cangkangnya yang penuh warna, sehingga amat menarik dijadikan pusat perhatian dalam perjamuan.
Meningkatnya demand di Tiongkok secara otomatis juga meningkatkan aktivitas penangkapannya di perairan Laut China Selatan. Di Vietnam, penangkapan dilakukan dengan kapal besar dengan jaring trawl dengan kapasitas penangkapan lobster di atas 700 ton.
Demi mempertahankan populasi lobster ini, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti telah mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 1 tahun 2015. Penangkapan lobster Panulirus dalam kondisi bertelur sangat terlarang. Lalu, lobster yang boleh ditangkap adalah yang ukuran cangkang (karapas) di atas 8 centimeter.