-- Badan Reserse Kriminal Polri (Bareskrim) membocorkan ada calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terjerat kasus tindak pidana Direktur Tipideksus Polri Brigadir Jenderal Victor Simanjuntak berjanji akan mempublikasikan penetapan tersangka pada Senin pekan depan (1/9). Victor mengklaim penetapan tersangka murni permasalahan hukum.
Penetapan tersangka capim KPK berdasar penelusuran intelijen internal Polri. Korps Bhayangkara pun sudah menyerahkan hasil laporan pada pansel untuk ditindaklanjuti.
Sebagai langkah selanjutnya, pansel mengaku mencecar sejumlah pertanyaan klarifikasi saat tahap wawancara kepada 19 kandidat yang lolos tahap sebelumnya, profile assessment. Wawancara rampung digelar dalam tempo tiga hari sejak Senin (24/8) hingga Rabu (26/8), di Gedung Sekretariat Negara, Jakarta.
Menurut catatan CNN Indonesia, dalam rentang tiga hari, sedikitnya lima orang kandidat ditanya soal kepemilikan hartanya, penggunaan uang negara, atau dugaan kasus tindak pidana korupsi.
Mereka adalah mantan Direktur Pengawasan Internal KPK, Chesna Fizetty Nawar, Mayjen TNI Purnawirawan Hendradji Soepanji, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie, mantan Direktur Eksekutif Foundation Nina Nurlina, dan staf ahli Badan Intelijen Negara (BIN) Thony Saut Situmorang.
Pada hari pertama, Chesna yang kini menjabat sebagai Direktur Kepatuhan Standard Chartered Bank, ditanya soal keterlibatan dirinya saat menangani perkara korupsi yang menjerat bekas Gubernur Sumatera Utara Syamsul Arifin. Ketua Pansel KPK Destry Damayanti meminta konfirmasi dari Chesna apakah dirinya mengetahui perkara tersebut.
"Hubungan Ibu dengan kasus Gubernur Sumut, Syamsul Arifin?" tanya Destry di Gedung Sekretariat Negara, Jakarta.
Chesna tak langsung menjawab, ia sedikit kebingungan. Ia pun mengaku lupa. Destry kembali mencecar Chesna. "Kasus korupsi Syamsul Arifin mantan Gubernur Sumatera Utara tahun 2010?" kata Destry.
Chesna mempertegas jawabannya bahwa ia tak tahu-menahu. "Itu saya sudah keluar," kata Chesna.
Pansel mendapat laporan Chesna mengetahui perkara korupsi dan memiliki hubungan dengan Syamsul. Syamsul merupakan mantan terpidana korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten Langkat pada tahun 2000 hingga 2007.
Menurut catatan CNN Indonesia, dalam rentang tiga hari, sedikitnya lima orang kandidat ditanya soal kepemilikan hartanya, penggunaan uang negara, atau dugaan kasus tindak pidana korupsi.
Mereka adalah mantan Direktur Pengawasan Internal KPK, Chesna Fizetty Nawar, Mayjen TNI Purnawirawan Hendradji Soepanji, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie, mantan Direktur Eksekutif Foundation Nina Nurlina, dan staf ahli Badan Intelijen Negara (BIN) Thony Saut Situmorang.
Berikut cuplikan proses wawancara lima kandidat:
2. Hendardji SoepanjiHari berikutnya, tiga orang capim KPK ditanya soal harta dan penggunaan uang negara. Kandidat pertama yang diusut hartanya yakni Hendardji Soepanji. Hendardji terakhir menjabat sebagai Asisten Pengamanan Kepala Staf Angkatan Darat (Aspem KASAD) pada 2010. Ia mengaku telah mengabdi di dunia militer selama 36 tahun. Selama tergabung dalam angkatan bersenjata itu, istri Hendardji yang merupakan dokter juga ikut bekerja.
 Hendardji Soepandji berbicara mengenai permasalahan di KPK setelah mengikuti profile assessment di Pusdiklat Kementerian Kesehatan, Jakarta Selatan, Selasa (28/7). (CNN Indonesia/ Abi) |
Menilai adanya indikasi ketidakwajaran harta, pansel KPK Supra Wimbarti dan Harkristuti Harkrisnowo pun bertanya. Keduanya menanyakan soal harta Hendardji yang melimpah hingga Rp 32 miliar dan ribuan dollar Amerika.
"Saya kira wajar. Itu harta kami berdua, saya dan istri saya. Saya menjadi TNI selama 36 tahun dan istri saya (bekerja) 33 tahun," jawab Hendardji saat seleksi wawancara.
Pansel pun juga mencecar soal moge atau motor gede yang dipunya Hendardji. Pria berusia 63 tahun ini mengaku, baru melaporkan kekayaan moge miliknya pada 2014. Padahal, ia telah memilikinya sejak lama.
"Alasannya karena BPKB (Buku Pemilik Kendaraan Bermotor) sempat hilang jadi diurus ke polisi. Tapi saya tetap bayar pajak, " katanya.
Soal rumah, sedikit berbeda. Ketika ditanya pansel berapa rumah yang dimiliki, Hendardji terdengar gugup. "Saya lupa," katanya.
Hendardji pun masih berkeras uang yang diperoleh pasca purna tugas dari militer adalah sebuah kewajaran. "22 tahun setelah pensiun, bertugas sebagai Direktur Utama Kemayoran dan Komisaris di Wilmar. Wilmar punya 90 badan usaha tapi saya jadi komisaris di satu badan usaha, PT Cahaya Kalbar yang sekarang jadi PT Wilmar Cahaya Indonesia," katanya. Menurut catatan CNN Indonesia, dalam rentang tiga hari, sedikitnya lima orang kandidat ditanya soal kepemilikan hartanya, penggunaan uang negara, atau dugaan kasus tindak pidana korupsi.
Mereka adalah mantan Direktur Pengawasan Internal KPK, Chesna Fizetty Nawar, Mayjen TNI Purnawirawan Hendradji Soepanji, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie, mantan Direktur Eksekutif Foundation Nina Nurlina, dan staf ahli Badan Intelijen Negara (BIN) Thony Saut Situmorang.
Berikut cuplikan proses wawancara lima kandidat:
3. Jimly AsshiddiqieSementara itu, kisah lain datang dari Jimly. Ia ditengarai memanfaatkan uang negara untuk penyewaan rumah dinas saat dirinya menjadi mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang nilainya tak wajar.
 Prof. DR. Jimly Asshiddiqie saat tahap akhir wawancara calon pimpinan KPK di Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa, 25 Agustus 2015. (CNN Indonesia/ Safir Makki) |
"Anda dapat fasilitas rumah dinas saat jadi ketua MK di Pondok Indah dan harga sewa Rp 120 juta per tahun padahal ada rumah dinas yang sudah disediakan? Hak atau gimana?" tanya pansel Enny Nurbaningsih saat wawancara.
Menjawab pertanyaan Enny, Jimly santai. Ia bercerita, rumahnya sedang direnovasi dan rusak. Lima tahun pun ia tak menghuni rumah tersebut. "Lalu ada rumah dinas tapi ada aturan rumah dinas 3 bulan dan tidak gampang (mengurusnya). Jadi harus ada rumah ketiga," katanya. Alhasil, ia menganggap kemewahan yang didapat sebagai ketua MK pun tak jadi masalah. Menurut catatan CNN Indonesia, dalam rentang tiga hari, sedikitnya lima orang kandidat ditanya soal kepemilikan hartanya, penggunaan uang negara, atau dugaan kasus tindak pidana korupsi.
Mereka adalah mantan Direktur Pengawasan Internal KPK, Chesna Fizetty Nawar, Mayjen TNI Purnawirawan Hendradji Soepanji, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie, mantan Direktur Eksekutif Foundation Nina Nurlina, dan staf ahli Badan Intelijen Negara (BIN) Thony Saut Situmorang.
Berikut cuplikan proses wawancara lima kandidat:
4. Nina NurlinaSelain Hendardji dan Jimly, pada hari yang sama, pansel juga bertanya soal harta kepada capim KPK Nina Nurlina. Pansel Supra Wimbarti mengonfirmasi sejumlah kekayaan yang dimiliki kandidat Nina. Nina pun mengaku memiliki mobil BMW senilai Rp 1,7 miliar dan dibeli tanpa cicilan.
 Nina Nurlina salah satu capim KPK. (DetikFoto) |
"Iya saya punya BMW Rp 1,7 miliar, dibeli cash. Saya dan suami sudah bekerja 30 tahun, boleh dong punya BMW," kata Nina saat wawancara.
Nina melanjutkan, ia juga memiliki mobil lainnya berupa satu buah Nissan Xtrail keluaran tahun 2005 dan dua buah Toyota Alphard.
Selain mobil, Nina mengaku memiliki lebih dari lima buah rumah yang berlokasi di Lembang, Cinere, Jatibening, Malang, dan Bandung. Sebuah kondominium dan hotel (kondotel) juga ia miliki di kawasan Bandung.
Suami Nina merupakan mantan General Manager Total E&P. Saban bulannya, ia mengantongi duit sekitar Rp 200 juta tiap bulan. Baik Nina maupun suaminya kini telah pensiun. Nina mengaku mendapat jumlah duit pesangon yang cukup besar. Jika dikalkulasikan, hartanya kini mencapai Rp 25 miliar.
Masih dalam wawncara, pansel menanyakan modus pencucian uang kepada Nina. Nina kurang paham dan cenderung menjawab sekenanya. Yenti, pakar pencucian uang sekaligus pansel KPK, alih-alih bertanya justru memberi tahu Nina soal modus-modus pencucian uang melalui pembelian harta-harta mewah.
Ketika dikonfirmasi awak media usai wawancara, Nina mengaku tak tahu istilah "layering" dalam Undang-Undang Pencucian Uang. "Apa itu layering? Saya tidak tahu," katanya.
Layering, dalam istilah tindak pidana pencucian uang bermakna salah satunya menyamarkan harta yang didapat dari korupsi dengan cara membelanjakan untuk barang lain.
Sementara itu, Ketua Pansel Destry Damayanti usai wawancara menuturkan pihaknya tak kaget dengan harta yang dimiliki Nina. "Harus dilihat kewajarannya. Harus dibedakan antara yang kerja di korporasi dan PNS. Juga harus dilihat berapa lama bekerja dan posisinya," kata Destry. Menurut catatan CNN Indonesia, dalam rentang tiga hari, sedikitnya lima orang kandidat ditanya soal kepemilikan hartanya, penggunaan uang negara, atau dugaan kasus tindak pidana korupsi.
Mereka adalah mantan Direktur Pengawasan Internal KPK, Chesna Fizetty Nawar, Mayjen TNI Purnawirawan Hendradji Soepanji, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie, mantan Direktur Eksekutif Foundation Nina Nurlina, dan staf ahli Badan Intelijen Negara (BIN) Thony Saut Situmorang.
Berikut cuplikan proses wawancara lima kandidat:
5. Thony Saut SitumorangSelanjutnya, pada hari terakhir seleksi, Dosen Intelijen Universitas Indonesia Thony Saut Situmorang dicecar mobil mewah. Hal tersebut dipertanyakan Anggota Pansel Diani Sadiawati. Pansel menerima laporan terkait kepemilikan Saut akan mobil jeep merek Rubicon dengan nomor polisi B 54 UTS.
 Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Saut Situmorang. (CNN Indonesia/ Christie Stefanie) |
Menanggapi pertanyaan Diani, Saut santai. "Saya tidak tahu apakah Rubicon itu mewah? Istri saya yang beli," ujar Saut.
Ketua Pansel Destry Damayanti pun kembali mempertanyakan masalah pembayaran pajak akan mobil Rubiconnya tersebut. Saut mengatakan dirinya telah membayar pajak atas mobilnya pada 24 Desember 2014 lalu. Pajak selanjutnya akan dibayarkan pada 24 Desember 2015 mendatang.
Saut bahkan menunjukkan bukti berupa Surat Tanda Nomor Kendaraannya (STNK) kepada Destry.
Tak berhenti disitu, Pansel pun mengklarifikasi dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan Saut melalui perusahaan yang dimilikinya, PT Indonesia Cipta Investama. Anggota Pansel KPK Yenti Garnasih mengatakan pansel menerima laporan akan adanya dugaan TPPU tersebut.
Perusahaan tersebut, diakui Saut, digunakan mengakses informasi society intelligent. Oleh sebab itu, Saut mengatakan tidak ada laporan keuangan karena memang tidak ada kegiatan yang dilakukan.
"Saya siap mati hari ini kalau perusahaan itu digunakan (untuk yang lain)," ucapnya.