Berbagai masalah kesehatan muncul ke permukaan di tahun 2020 ini. Jelas, yang terbesar adalah pandemi Covid-19, yang mengancam miliaran penduduk Bumi.
Sejak ditemukan pada akhir 2019 lalu, virus corona penyebab Covid-19 bikin kalut banyak orang. Pandemi juga mengakibatkan efek domino yang menyebar ke mana-mana, termasuk memicu masalah kesehatan lainnya.
Tak cuma virus corona SARS-CoV-2 yang bikin geger, deretan masalah kesehatan lain-seperti ditemukannya virus atau mikroorganisme lain yang mengancam kesehatan manusia-pun bermunculan. Beberapa wabah yang sebelumnya telah ada juga diperparah oleh kehadiran Covid-19.
Belum lagi berbagai masalah kesehatan yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19 itu sendiri. Misalnya saja, kepanikan dan rasa takut akan ancaman situasi serba tak pasti ini yang memicu meningkatnya gangguan mental di tengah masyarakat. Atau, gaya hidup sedentary saat banyak orang terus berada di rumah di masa karantina yang memengaruhi kesehatan.
Tak lain tak bukan, virus corona jadi satu masalah kesehatan terbesar yang sedang dihadapi dunia saat ini. Ditemukan pertama kali di Wuhan, China, pada Desember 2019, virus yang menyerang sistem pernapasan ini dengan cepat menyebar dan melanglangbuana ke berbagai penjuru Bumi, tak terkecuali Indonesia.
Kondisi tersebut membuat sejumlah negara menerapkan kebijakan lockdown atau karantina wilayah dalam rangka menekan penyebaran virus corona. Indonesia sendiri menerapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dalam rangka menangani pandemi Covid-19.
Severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) begitu menular. Virus bisa menyerang siapa saja termasuk anak-anak, kelompok lansia, dan ibu hamil. Virus ini menyebabkan gangguan ringan pada sistem pernapasan, infeksi paru-paru yang berat, hingga kematian.
Virus menular melalui tetesan pernapasan (droplet) saat berbicara, batuk, atau bersin. Virus juga ditemukan bersifat aerosol atau melayang di udara, utamanya di ruangan ramai dengan sirkulasi udara yang kurang baik.
Secara umum, ada beberapa gejala yang menandakan seseorang terinfeksi virus corona. Beberapa gejala di antaranya demam (suhu tubuh di atas 38 derajat Celcius), batuk kering, sesak napas, diare, sakit kepala, hingga hilangnya kemampuan mengecap rasa atau mencium bau. Namun, pada beberapa orang, virus ini juga bisa tak menimbulkan gejala sama sekali.
Pada tingkat yang lebih parah, virus ini dapat memicu komplikasi, khususnya pada orang yang memiliki komorbid atau penyakit bawaan.
Sepanjang perjalanannya, para peneliti beramai-ramai mempelajari virus baru ini. Mulai dari gejala-gejala tak umum yang ditimbulkan hingga dampak jangka panjang dari infeksi pada penyintas Covid-19. Sejumlah penelitian menemukan kerusakan jangka panjang pada tubuh penyintas Covid-19 seperti pada paru-paru, jantung, hingga otak. Covid-19 juga ditemukan menyebabkan kelelahan kronis yang bertahan dalam beberapa lama.
Tak hanya itu, sejumlah uji klinis terkait vaksin dan obat juga terus dilakukan oleh banyak pihak, termasuk Indonesia. Beberapa negara telah memberikan izin emergency use authorization (EUA) atau penggunaan darurat untuk vaksin Covid-19 tertentu, meski hasil uji klinis tahap terakhir belum disimpulkan.
Hingga saat ini tercatat sebanyak ..... kasus di dunia, dengan angka kematian mencapai ..... Di Indonesia, kasus Covid-19 hingga ... telah mencapai .... dengan angka kematian sebesar .....
Pandemi memberikan pengaruhnya terhadap berbagai sendi kehidupan, termasuk di antaranya pelaksanaan imunisasi anak. Rasa takut orang tua akan penularan virus corona membuat pelaksanaan imunisasi rutin terhambat.
Pada Mei lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut, program imunisasi di 68 negara harus terhenti akibat pandemi. Sebagai akibatnya, 80 juta bayi yang tinggal di negara-negara tersebut terancam penyakit menular lain seperti campak dan polio.
Imunisasi campak tercatat dihentikan di 27 negara. Sementara 38 negara lainnya telah menghentikan imunisasi polio.
Ketakutan masyarakat untuk mendatangi fasilitas layanan kesehatan menjadi salah satu masalah utama yang membuat program imunisasi terhenti. Keengganan tersebut muncul akibat rasa takut tertular Covid-19.
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Survei Kementerian Kesehatan bersama UNICEF pada Juni lalu menemukan 83,9 persen pelayanan kesehatan terdampak pandemi Covid-19. Artinya, program imunisasi juga tak terlaksan dengan baik.
Berdasarkan catatan Kemenkes, cakupan imunisasi di Indonesia pada Januari dan Februari terbilang tinggi. Namun, angka menurun drastis pada April, satu bulan setelah kasus pertama Covid-19 ditemukan di Indonesia pada awal Maret.
Cakupan imunisasi dasar pada April 2020 menurut 4,7 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Penurunan layanan program imunisasi terjadi di Puskesmas, Posyandu, dan fasilitas kesehatan lainnya.
Kendati demikian, seiring berjalannya waktu, untuk mengatasi cakupan imunisasi yang menurun, sejumlah tenaga kesehatan di puskesmas atau posyandu melakukan sistem jemput bola imunisasi anak rutin. Mereka datang ke masing-masing rumah warga dengan anak yang mendapatkan jadwal imunisasi.
Sejak pertama kali muncul, virus corona penyebab Covid-19 memang bikin banyak orang ketar-ketir. Tingkat penularan yang semakin tinggi dan angka kematian yang terus bertambah memicu rasa takut pada banyak orang.
Ketakutan terhadap virus corona yang terus bertahan dalam pikiran lambat laun menjadi bentuk kecemasan. Jika tak ditangani, kecemasan bisa berujung pada gangguan mental yang lebih serius.
Kondisi itu diperparah dengan situasi serba tak pasti dari pandemi Covid-19. Hingga saat ini, tak ada satu pun yang tahu kapan pandemi akan terus berakhir, sekali pun vaksin telah tersedia. Angka kasus yang terus berfluktuasi memicu perasaan cemas tersendiri.
Faktanya, pandemi Covid-19 memang memicu persoalan kesehatan mental. Orang dewasa cenderung mengalami kecemasan dan kesedihan akibat situasi serba tak pasti yang dihadapi. Isolasi dan berbagai pembatasan juga turut berkontribusi terhadap kesehatan mental.
Data dari The Commonwealth Fund menemukan, sebanyak 33 persen penduduk Amerika Serikat mengalami gangguan mental selama pandemi. Hal yang sama juga terjadi pada 26 persen penduduk Kanada dan Inggris.
Pada Oktober lalu, WHO merilis hasil survei yang menyimpulkan bahwa pandemi telah memberikan dampaknya terhadap kesehatan mental. Sebanyak 83 persen dari 130 negara yang disurvei bahkan telah memasukkan kesehatan mental dalam rencana tanggapan pandeminya. Namun, hanya 17 persen yang benar-benar menyiapkan dana yang dibutuhkan.
 Ilustrasi. Sejumlah negara telah menyadari adanya ancaman kesehatan mental di tengah pandemi Covid-19. (Istockphoto/fizkes) |
WHO menyebut, sebelum pandemi, negara-negara telah menghabiskan kurang dari dua persen dari anggaran kesehatan nasional mereka untuk mengatasi masalah kesehatan mental. Kini, permintaan itu terus meningkat akibat pandemi.
Sementara di Indonesia, Kementerian Kesehatan mencatat, selama pandemi Covid-19, hingga Juni 2020, ada sebanyak 277 ribu kasus gangguan mental. Angka ini meningkat dari periode yang sama di tahun sebelumnya sebanyak 197 ribu kasus.
Catatan lain, Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) menemukan, 68 persen masyarakat yang melakukan swaperiksa mengalami masalah psikologis.
Sebanyak 67,4 persen mengalami gejala cemas dengan terbanyak pada kelompok usia di bawah 30 tahun. Sementara 67,3 persen mengalami depresi. Dari kelompok depresi, 48 persen di antaranya bahkan sempat berpikir untuk bunuh diri atau melukai diri sendiri dengan cara apa pun.
Sementara itu, 74,2 persen masyarakat mengalami gejala trauma psikologis. Trauma yang dialami seperti selalu merasa waspada, merasa sendirian, merasa ditinggalkan, dan merasa terisolasi.
Tak hanya pada masyarakat umum atau mereka yang tidak terinfeksi Covid-19, kesehatan mental juga rentan mengganggu para penyintas infeksi virus corona. Sejumlah studi menemukan bahwa banyak penyintas Covid-19 yang mengalami depresi setelah menjalani masa perawatan isolasi di rumah sakit. Gangguan mental bahkan disebut-sebut sebagai efek jangka panjang dari infeksi virus corona itu sendiri.
Sejak pandemi melanda, pemerintah menerapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Kebijakan dilakukan guna menekan penyebaran virus corona penyebab Covid-19.
Tak cuma di Indonesia, aturan pembatasan itu juga dilakukan oleh hampir setiap pemerintah yang negaranya terjangkiti virus corona.
Akibat kebijakan tersebut, banyak orang lebih banyak beraktivitas di dalam rumah. Tak ada lagi berjalan kaki menuju halte bus atau stasiun kereta api, tak ada lagi aktivitas-aktivitas fisik lainnya yang bisa dilakukan sehari-hari. Semua dilakukan di rumah dengan bantuan koneksi internet.
Survei McKinsey menemukan, selama pandemi, sebagian besar masyarakat Indonesia lebih sering meluangkan waktunya untuk menonton televisi, membaca berita daring, dan bermain media sosial. Penggunaan online streaming bertambah 35 persen, sementara aktivitas video conference bertambah 38 persen.
Tak cuma itu, jasa pesan-antar makanan restoran dan kebutuhan sehari-hari juga meningkat. Pesan antar makanan meningkat 36 persen, dan peningkatan 41 persen terjadi pada pesan antar kebutuhan sehari-hari.
Berbagai kondisi tersebut pada akhirnya membuat banyak orang terjebak dalam gaya hidup sedentary atau minim gerak. Padahal, gaya hidup jenis ini berisiko tinggi terhadap obesitas dan penyakit-penyakit kronis seperti diabetes dan gangguan jantung.
"Walaupun belum meneliti, tapi berdasarkan pengalaman kami, ada banyak orang yang sebelumnya sehat menjadi pradibaetes, dari pradiabetes menjadi diabetes," ujar ahli endokrin metabolik diabetes, dr Dyah Purnamasari, beberapa waktu lalu.
Sebuah studi yang dipublikasikan dalam jurnal Obesity menunjukkan, stay at home selama pandemi berisiko tinggi membuat anak kelebihan berat badan atau mengalami obesitas.
Selama pandemi, anak-anak ditemukan makan lebih banyak setiap hari dan tidur lebih lama 30 menit dibandingkan tahun lalu. Konsumsi daging merah dan makanan cepat saji juga meningkat di kalangan anak-anak. Belum lagi waktu untuk aktivitas fisik rata-rata yang hanya berkisar dua jam dalam sehari.
Obesitas dapat meningkatkan risiko diabetes. Data International Diabetes Federation (IDF) menempatkan Indonesia dengan status 'waspada diabetes' karena menempati urutan ke-7 dari 10 negara dengan jumlah pasien diabetes tertinggi pada tahun 2020. Pada tahun ini, prevalensi diabetes di Indonesia mencapai 6,2 persen.
Selain faktor gaya hidup, stres yang meningkat selama pandemi juga dapat memicu kenaikan gula darah yang dapat menyebabkan diabetes.
Infeksi Ganda DBD
Demam berdarah dengue (DBD) menjadi penyakit musiman yang selalu menjangkiti banyak orang setiap tahunnya. Namun, di tengah pandemi, DBD menjadi ancaman infeksi ganda.
Hal tersebut dilihat dari anomali data kasus yang dimiliki Kementerian Kesehatan. Jika umumnya puncak kasus DBD berakhir pada bulan Maret, namun hal itu tak berlaku pada tahun ini. Kasus terus bertambah.
Hingga Juli 2020, Kemenkes mencatat sebanyak 71.633 kasus DBD dengan angka kematian mencapai 459 jiwa.
Kemenkes juga sempat mengimbau masyarakat untuk mewaspadai DBD di tengah pandemi. Menurut Kemenkes, Indonesia terancam mengalami infeksi ganda akibat DBD dan Covid-19.
Potensi Pandemi Flu Babi G4
Para peneliti di China menemukan virus flu babi Genotip 4 (G4) tipe baru pada Juni lalu. Virus yang merupakan turunan dari virus flu babi H1N1 ini bahkan pada saat itu disebut berpotensi memicu pandemi baru karena penularannya yang terbilang cepat.
Kala itu, sebanyak 4,4 persen populasi China telah terpapar virus baru tersebut dari hewan. China sendiri dikenal dengan populasi babinya yang sangat tinggi.
Virus itu menular dengan cepat dari hewan ke manusia. Namun, hingga saat ini belum ada bukti yang menunjukkan bahwa virus tersebut menular antar-manusia.
Para peneliti menyebut bahwa virus ini sangat-lah berbahaya. Pasalnya, inti dari virus ini adalah virus flu burung dengan campuran strain mamalia di dalamnya. Sementara manusia sama sekali tak punya kekebalan terhadap virus tersebut.
Infeksi flu babi G4 disebut bisa menimbulkan gejala klinis parah termasuk bersin, mengi, batuk, dan rata-rata penurunan berat badan maksimal 7,3-9,8 persen dari massa tubuh.
Infeksi ini juga umumnya mengarah pada penyakit yang lebih serius seperti pneumonia, infeksi paru, dan masalah pernapasan lainnya.
Sejumlah percobaan menemukan, virus flu babi G4 menginfeksi sel-sel epitel yang melapisi bronkus dan anveoli. Virus mereproduksi dengan cepat dalam sel-sel tersebut.
Pada Juni lalu, masyarakat diramaikan oleh kabar mengenai jamur enoki yang mengandung bakteri berbahaya. Jamur satu ini jadi salah satu pangan yang umum digunakan banyak orang untuk memasak.
Kabar bermula dari penarikan produk jamur enoki yang berasal dari Korea Selatan dari pasaran pada Juni lalu. Penarikan ini merupakan buntut dari kejadian luar biasa (KLB) yang terjadi di Amerika Serikat, Kanada, dan Australia yang mengakibatkan sejumlah orang tewas karena mengonsumsi jamur enoki mengandung bakteri Listeria.
Listeria monocytogenes merupakan salah satu bakteri berbahaya yang mengancam nyawa manusia. Meski tergolong jarang ditemukan, tapi listeriosis--penyakit yang disebabkan bakteri listeria--bisa berbahaya bahkan mematikan jika memicu keracunan darah dan meningitis.
Bakteri ini rentan menginfeksi orang tua, ibu hamil dan janin, serta mereka yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah. Sepuluh dari kasus yang pernah dilaporkan terjadi pada orang-orang berusia di atas 70 tahun.
Mengonsumsi makanan yang mengandung bakteri Listeria tak langsung membuat tubuh menjadi sakit. Gejala umumnya baru muncul sekitar tiga pekan atau hingga 70 hari. Gejalanya mulai dari demam, nyeri otot, mual, muntah, dan diare.
Pada kasus yang parah, gejala bisa menimbulkan pingsan atau syok, utamanya jika terjadi keracunan darah. Jika infeksi menyebar ke sistem saraf pusat, gejala lebih parah seperti sakit kepala, leher kaku, kejang, dan koma bisa terjadi.
Sementara pada ibu hamil, bakteri ini bisa menyebabkan keguguran, bayi lahir dalam kondisi tak bernyawa, hingga memicu infeksi pada bayi baru lahir.
Cegah infeksi bakteri Lsteria dengan memasak daging mentah hingga matang, mencuci sayuran dan buah secara menyeluruh, menggunakan alat potong yang berbeda untuk makanan mentah dan lainnya, dan mencuci tangan serta alat yang digunakan.
Tahun 2020 tampaknya menjadi momentum besar untuk dunia kesehatan. Tak berhenti pada penyakit-penyakit yang memicu wabah, sejumlah mikroorganisme juga menjadi sorot perhatian banyak orang.
Sebut saja virus Hanta yang sempat membuat warganet panik. Kepanikan muncul setelah seorang warga China dilaporkan meninggal dunia akibat virus Hanta pada Maret lalu.
Virus ini sebenarnya sudah ada jauh lebih dulu dari SARS-CoV-2. Virus Hanta menyebar lewat tikus dan menimbulkan berbagai sindrom penyakit pada manusia.
Virus Hanta menimbulkan gangguan pada sistem pernapasan atau dikenal dengan istilah medis hantavirus pulmonary syndrome (HPS). Virus Hanta lainnya juga dapat memicu demam berdarah dengan sindrom ginjal.
Gejala yang ditimbulkan oleh infeksi virus Hanta tak banyak berbeda dengan yang lainnya. Pasien akan mengalami demam, kelelahan, dan nyeri otot terutama pada paha, pinggul, punggung, dan bahu.
Namun, tak perlu khawatir, penyakit ini tak menular antar-manusia.
Selain Hanta, ada pula kasus meninggalnya enam bocah di Amerika Serikat akibat terinfeksi amoeba pemakan otak. Kejadian itu bahkan membuat Gubernur Texas AS, Greg Abbott menetapkan status darurat bencana di wilayahnya.
Bocah itu mengalami primary amebic meningoencephalitis (PAM) yang disebabkan oleh amoeba bernama Naegleria fowleri. Nama terakhir merupakan amoeba yang biasa ditemukan di air tawar.
PAM sendiri merupakan infeksi dan peradangan langka yang menyerang otak sebagai sistem saraf pusat. Penyakit ini memiliki tingkat prognosis yang sangat rendah. Seseorang yang terinfeksi Naegleria fowleri 98,5 persen tak bisa diselamatkan.
Sejak pertama kali ditemukan pada 1960-an, hanya tujuh orang di seluruh dunia yang dilaporkan selamat dari ancaman PAM.
Pada tahap awal, seseorang yang terinfeksi akan mengalami sakit kepala yang parah, demam, mual, dan muntah. Pada tahap lanjut, seseorang akan mengalami leher yang kaku, perubahan kondisi mental, halusinasi, hingga koma.
PAM termasuk salah satu penyakit yang sulit dideteksi. Pasalnya, penyakit ini berkembang dengan pesat hingga sulit untuk diselamatkan.
Selain itu, belum lama ini juga masyarakat ramai membicarakan soal virus Chapare. Infeksi dari virus Chapare bisa memicu demam berdarah mematikan mirip Ebola.
Virus Chapare ditemukan ilmuwan pertama kali di Bolivia pada tahun 2004. Penularannya juga terbilang mirip dengan corona dan dapat menular dari manusia ke manusia.
Orang yang terinfeksi umumnya akan mengalami gejala seperti demam, sakit kepala, nyeri di belakang mata, ruam kulit, mual, dan pendarahan gusi.