Jakarta, CNN Indonesia --
Perang selama satu dekade tidak hanya meluluhlantakkan Suriah di hari ini, tapi juga Suriah di masa depan, karena banyak bangunan bersejarah di sana yang hancur lebur.
Suriah adalah surga bagi arkeolog, warisan dunia yang menjadi rumah bagi beberapa permata peradaban kuno tertua di dunia.
Konflik yang meletus pada tahun 2011 bisa dibilang yang terburuk di abad ke-21 sejauh ini dalam kasus kemanusiaan, dan juga kasus penghilangan sejarah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam beberapa tahun, situs arkeologi rusak, museum dijarah, dan pusat kota tua diratakan.
Berdiri di depan artefak yang dipugar di museum Palmyra yang ia jalankan selama 20 tahun, Khalil al-Hariri ingat trauma harus melarikan diri dari rumahnya saat Suriah jatuh ke tangan apa yang disebut kelompok Negara Islam (ISIS).
"Saya telah menjalani banyak hari yang sulit. Kami dikepung beberapa kali di museum," katanya, menceritakan bagaimana dia dan timnya melarikan diri paling akhir untuk mengangkut artefak ke tempat yang aman.
"Tapi hari tersulit dalam hidup saya adalah hari ketika saya kembali ke Palmyra dan melihat barang antik yang rusak dan museum itu amburadul," kata Hariri, kini berusia 60 tahun.
"Mereka menghancurkan semua wajah patung yang tersisa di museum dan yang tidak dapat kami selamatkan. Beberapa di antaranya dapat dipulihkan, tetapi yang lain telah hancur total."
Venesia di gurun pasir
Palmyra adalah kota kuno yang megah yang pengaruhnya memuncak menjelang akhir kekaisaran Romawi dan terkenal diperintah oleh Ratu Zenobia pada abad ke-3.
Tiang tiang sepanjang sekitar satu kilometer itu terlihat unik dan mengesankan, sehingga menjadi salah satu bangunan paling terkenal di Suriah.
Ketika para jihadis ISIS datang ke Palmyra pada Mei 2015 untuk memperluas "kekhalifahan" yang mereka nyatakan di beberapa bagian Suriah dan Irak setahun sebelumnya, kerusakan dimulai dan terus meluas.
Kemegahan dan kehebatan arsitektur Palmyra dijadikan lokasi kebiadaban ISIS membunuh orang-orang yang menentangnya.
Situs tersebut menjadi panggung untuk eksekusi publik dan kejahatan mengerikan lainnya, beberapa di antaranya difoto dan didistribusikan dalam propaganda ISIS.
Tubuh tanpa kepala kepala arkeolog Khaled al-Asaad juga ditampilkan di sana oleh antek ISIS yang telah menyiksanya untuk membuatnya buka suara mengenai lokasi artefak-artefak situs tersebut telah dipindahkan.
Dengan sadar melakukan genosida pada budaya mereka, para jihadis merusak Kuil Baal Shamin yang terkenal di Palmyra lalu meledakkannya.
Mereka juga menghancurkan Kuil Bel, meledakkan Arch of Triumph, menjarah dari museum serta merusak patung dan sarkofagus yang terlalu besar untuk dicuri.
Penjarahan kota kuno yang dijuluki "Venesia di Gurun Pasir" ini mirip dengan penghancuran Bamiyan Buddha oleh Taliban di Afghanistan pada tahun 2001.
Pada saat pasukan pemerintah merebut kembali kendali Palmyra pada tahun 2017, kota bersejarah itu telah rusak secara permanen.
Penghancuran total
Palmyra hanyalah salah satu kerusakan selama perang di Suriah yang tak dapat diperbaiki.
"Hanya dua kata: kiamat budaya," kata Justin Marozzi, seorang penulis dan sejarawan yang telah banyak menulis tentang wilayah tersebut dan warisannya.
Penghancuran yang terjadi di Suriah pada dekade sebelumnya mengingatkan kita pada zaman lain, ketika kekaisaran Mongol yang didirikan oleh Gengis Khan melancarkan pembantaian.
"Ketika berbicara tentang Suriah dan Timur Tengah secara khusus, saya tidak dapat berhenti memikirkan Timur, atau Tamerlane, yang membuat neraka di sini pada tahun 1400," kata Marozzi, penulis "Islamic Empires: Fifteen Cities that Define a Civilization."
Referensi tentang penakluk Mongol tidak dapat dihindari ketika merenungkan nasib Aleppo, pusat ekonomi Suriah sebelum perang dan pernah menjadi rumah bagi salah satu kota tua yang paling terawat di dunia.
Tamerlane mempertaruhkan kota itu enam abad lalu, tetapi kehancuran yang ditimbulkan di Aleppo dalam dekade terakhir bukanlah ulah penjajah asing.
Maamoun Abdel Karim adalah kepala departemen barang antik Suriah ketika kerusakan terparah terjadi, dari 2012 hingga 2016.
"Selama dua ribu tahun terakhir dalam sejarah Suriah, tidak ada yang lebih buruk yang terjadi selain apa yang terjadi selama perang," katanya kepada AFP di Damaskus.
"Penghancuran total. Kami tidak hanya berbicara tentang gempa bumi, kebakaran, atau perang di satu kota - tetapi kehancuran di seluruh Suriah," katanya.
Dirusak lalu dicuri
Sebelum perang, kota utara Aleppo - yang dianggap sebagai salah satu pemukiman tertua di dunia - memiliki pasar, masjid, sampai pemandian umum.
Tapi ISIS merusak tradisi dan budaya di sana.
Pemerintah, yang mulai tahun 2015 diuntungkan dari kekuatan militer Rusia, sangat bergantung pada kekuatan udara untuk merebut kembali wilayah tersebut.
"Saya tidak bisa melupakan hari jatuhnya menara masjid Umayyah di Aleppo, atau hari ketika api mengobrak-abrik pasar kuno kota," kata Abdel Karim.
Bangunan lain yang, seperti menara abad ke-11, yang mampu bertahan selama berabad-abad penguasaan Tamerlane, telah hilang selamanya.
"Sekitar 10 persen barang antik Suriah rusak, dan itu angka yang tinggi untuk negara dengan begitu banyak peninggalan dan situs bersejarah," kata mantan kepala barang antik itu.
Sebuah laporan yang diterbitkan tahun lalu oleh Gerda Henkel Foundation dan Masyarakat Suriah untuk Perlindungan Purbakala yang berbasis di Paris mengatakan lebih dari 40 ribu artefak telah dijarah dari museum dan situs arkeologi sejak dimulainya perang.
Perdagangan "barang antik hasil konflik" telah menghasilkan jutaan dolar AS bagi ISIS dan anteknya.
ISIS memiliki departemen khusus yang mengatur penggalian situs arkeologi, menunjukkan keuntungan yang akan didapat cukup signifikan, meskipun tidak pernah dihitung secara akurat.
Kekacauan yang melanda Suriah pada puncak perang memungkinkan potongan-potongan yang lebih kecil denga mudah dapat dipindahkan - seperti koin, patung, dan pecahan mosaik - tersebar di seluruh dunia melalui pasar gelap barang antik.
Sementara beberapa upaya telah dilakukan untuk membendung perdagangan gelap, dan bahkan dalam beberapa kasus untuk mulai memulangkan artefak curian ke Suriah dan Irak, kerusakan yang terjadi sangat besar.
'Luka bagi seluruh umat manusia'
Taruhan ekonominya juga sangat besar bagi masa depan Suriah. Kekayaan warisan negara adalah daya tarik utama dari industri pariwisata yang tetap terhambat tetapi memiliki potensi yang sangat besar.
Suriah memiliki enam situs dalam daftar elit warisan dunia UNESCO dan semuanya mengalami kerusakan pada tingkat tertentu dalam perang.
Selain Palmyra dan Aleppo, kota kuno Damaskus dan Bosra juga menderita. Kastil tentara salib Krak des Chevaliers yang spektakuler juga terperangkap dalam pertempuran itu, begitu pula sekelompok desa tua di dekat perbatasan Turki yang dikenal sebagai "kota mati".
Peninggalan warisan sejarah utama lainnya mengalami kerusakan parah, seperti situs Apamea, kota zaman Romawi kuno di sungai Orontes yang terkenal dengan barisan tiang yang bahkan lebih panjang dari Palmyra.
Di puncak kejayaannya, Palmyra adalah simbol peradaban majemuk, pusat komersial di Jalur Sutra yang merupakan persimpangan budaya.
Arsitekturnya merupakan perpaduan pengaruh dari Roma kuno dan Yunani, Persia dan Asia Tengah.
Apa yang dihancurkan selama perang di Palmyra, dan lebih luas lagi di seluruh Suriah, adalah bukti masa lalu multikultural, cita-cita peradaban tertentu.
"Kita semua harus peduli dengan penghancuran warisan Suriah karena, selain Suriah dan Arab, situs dan kota kuno serta monumen ini merupakan bagian dari warisan budaya kita bersama," kata Marozzi.
"Tempat-tempat seperti Palmyra memiliki makna dan nilai universal. Mereka adalah bagian dari peradaban dunia kita, itu adalah tonggak sejarah kita sebagai manusia dan jadi apapun yang merusaknya adalah luka bagi semua umat manusia."