Jakarta, CNN Indonesia --
Sebelum 9/11, Anda mungkin bisa datang ke bandara untuk melakukan penerbangan internasional maksimal 20 menit sebelum pesawat lepas landas.
Keluarga atau pasangan Anda juga mungkin bisa mengantar sampai gerbang keberangkatan. Ingat adegan Cinta yang mengejar Rangga di Bandara Internasional Soekarno-Hatta dalam film 'Ada Apa dengan Cinta?' ?
Tapi sejak 9/11, segala kemudahan naik pesawat seakan sirna.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penumpang harus tiba minimal tiga jam sebelum keberangkatan, untuk melewati gerbang pengecekan dokumen dan barang bawaan sebelum masuk ke gerbang keberangkatan. Pengantar juga hanya bisa mengantar sampai lobi.
Dunia penerbangan memang telah banyak berubah sejak kelompok teroris Al Qaeda merobohkan Menara Kembar di Manhattan, New York, dengan dua pesawat dan membunuh banyak orang tak berdosa pada 11 September 2001.
Sean O'Keefe - sekarang seorang profesor di Universitas Syracuse dan mantan ketua perusahaan kedirgantaraan dan pertahanan Airbus - pada tahun itu ialah wakil direktur Kantor Manajemen dan Anggaran di pemerintahan George W. Bush.
"Di Gedung Putih, saya adalah anggota tim Keamanan Dewan Nasional," katanya kepada CNN Travel.
Dia dan rekan-rekannya telah diberitahu tentang kelompok teroris Al Qaeda dan memahami ancaman yang ditimbulkannya, "tetapi kami tidak pernah berpikir bahwa mereka akan merobohkan menara kembar dengan pesawat."
Sebelum 9/11, dunia penerbangan diguncang oleh serangan teroris Palestina di bandara Roma pada tahun 1973 yang menewaskan 34 orang.
Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa perjalanan udara rentan terhadap terorisme.
"Momen itu tampaknya telah mengubah seluruh struktur keamanan di Eropa dan di Timur Tengah," kata O'Keefe.
"Perubahan itu seakan menjadi konsep berpikir khas Amerika; kita harus mengalaminya musibah dulu untuk memulai tindakan keamanan lebih dalam dunia penerbangan."
Teror 9/11 mengubah Negara Paman Sam "menjadi terobsesi dengan keamanan," tulis sejarawan James Mann pada 2018.
"Pengalaman berada di bandara dan pesawat tak lagi sama sejak 12 September 2001."
Pemerintah AS segera mulai mengerjakan manifesto keamanan yang pada 19 November 2001, akan disahkan menjadi undang-undang sebagai Undang-Undang Keamanan Penerbangan dan Transportasi.
"Fakta bahwa teroris telah mengatur serangan itu dengan tiga penerbangan berbeda di tiga tempat berbeda" memperjelas betapa rentannya AS, kata O'Keefe.
"Itu benar-benar tamparan di wajah. Itu mengingatkan kami betapa naifnya kami dulu."
Di bandara dan di maskapai penerbangan, sementara itu, langkah-langkah keamanan yang lebih ketat diperkenalkan segera setelah perjalanan udara sipil dilanjutkan pada 14 September 2001.
Garda Nasional menyediakan personel militer bersenjata di bandara, dan para pelancong menghadapi antrean panjang saat sistem baru dimulai.
Penumpang awal pasca-9/11 -- orang-orang yang tidak membatalkan atau menjadwal ulang perjalanan mereka --, kata O'Keefe, agak terkejut dengan sistem baru ini. Antrean yang mengular membuat penerbangan banyak yang tertunda.
Artikel ini masih berlanjut ke halaman berikutnya...
Pemeriksaan identifikasi
Ironisnya, beberapa teroris 9/11 dapat naik ke pesawat tanpa identifikasi yang ketat.
Setelah serangan, semua penumpang berusia 18 tahun ke atas akan memerlukan identifikasi resmi yang dikeluarkan pemerintah untuk terbang, bahkan pada penerbangan domestik.
Bandara dapat memeriksa kartu identitas penumpang atau staf kapan saja, untuk mengonfirmasi bahwa dokumen tersebut cocok dengan detail pada boarding pass mereka.
Sebelum peristiwa itu, pemerintah federal AS hanya memiliki "daftar kecil" orang-orang yang dianggap berisiko mengancam perjalanan udara.
Namun, apa yang kita kenal sekarang sebagai Daftar Larangan Terbang -- bagian dari Basis Data Penyaringan Teroris yang menunjukkan orang-orang yang dilarang naik pesawat komersial untuk perjalanan masuk, keluar, dan di dalam AS -- dikembangkan sebagai tanggapan terhadap 9/11.
Di seluruh dunia, negara-negara menjadi lebih ketat dengan pemeriksaan identitas, pemeriksaan keamanan, dan Daftar Larangan Terbang versi mereka sendiri.
Pada tahun 2002, Uni Eropa memperkenalkan peraturan yang menuntut maskapai penerbangan mengkonfirmasi penumpang yang menaiki pesawat adalah orang yang sama yang melakukan check-in di bagasi mereka, yang berarti memeriksa kartu identitas baik saat check-in bagasi maupun saat boarding.
Kemudian dalam dekade ini, identitas sidik jari dan pemindaian retina dan iris diperkenalkan di beberapa negara.
Dulu, staf bandara di AS ialah karyawan kontrak dari perusahaan rekanan.
Sebagai bagian dari undang-undang keamanan baru, Administrasi Keamanan Transportasi (TSA) diperkenalkan pada November 2001.
Sekarang sebagai sebuah badan dari Departemen Keamanan Dalam Negeri AS, yang dibentuk setahun kemudian, TSA mengambil alih semua fungsi keamanan Administrasi Penerbangan Federal (FAA), maskapai penerbangan, dan bandara AS.
Pada akhir tahun 2002, agensi tersebut telah merekrut hampir 60 ribu karyawan, tulis pengamat TSA, Michael PC Smith.
O'Keefe mengakui kalau membentuk TSA menjadi tantangan tersendiri, terutama melatih staf untuk "tanggap terorisme". Belum lagi wawancara berjam-jam untuk mencari karyawan yang latar belakangnya baik.
 Foto tahun 2010. Suasana sibuk di Bandara Internasional Narita, Tokyo, Jepang. (AFP PHOTO / YOSHIKAZU TSUNO) |
Pemeriksaan keamanan
Beberapa pembajak 9/11 dilaporkan membawa pisau cutter dan pisau kecil, yang lolos pemeriksaan keamanan bandara AS.
Tak lama, dengan aturan baru TSA, benda potensial menjadi senjata seperti pisau, gunting, dan jarum rajut tidak lagi diizinkan di dalam pesawat, dan pekerja bandara lebih terlatih untuk mendeteksi senjata atau bahan peledak.
Pada bulan Agustus 2006, teror yang gagal untuk meledakkan bahan peledak cair pada beberapa penerbangan transatlantik menyebabkan pembatasan hari ini pada cairan, gel dan aerosol dalam barang bawaan.
Pada bulan yang sama, TSA mulai meminta penumpang untuk melepas sepatu mereka untuk menyaring bahan peledak - lima tahun setelah insiden "pengebom sepatu" tahun 2001 - dan badan tersebut juga mengerahkan petugas udara federal di luar negeri.
Detektor logam adalah standar di bandara sebelum 9/11, tetapi pada Maret 2010 - beberapa bulan setelah "pembom pakaian dalam" ditangkap pada penerbangan Hari Natal setelah serangan udara yang gagal menggunakan perangkat yang disembunyikan di bawah pakaiannya - pemindai seluruh tubuh mulai dipasang di bandara AS.
Pada Juli 2017, sebagai tanggapan atas meningkatnya "minat" teroris untuk menyembunyikan alat peledak improvisasi di dalam barang elektronik komersial dan barang bawaan lainnya, TSA mulai mewajibkan para pelancong untuk meletakkan semua barang elektronik pribadi yang lebih besar dari ponsel di kotak khusus untuk pemeriksaan sinar-X.
Pada bulan Februari berikutnya, teknologi pengenalan wajah juga sedang diujicobakan.
Artikel ini masih berlanjut ke halaman berikutnya...
"Dulu masuk ke kokpit pesawat Amerika yang terbang di wilayah udara Amerika semudah masuk toilet," kenang O'Keefe.
Kokpit antipeluru dan terkunci menjadi standar pada pesawat penumpang komersial dalam dua tahun 9/11.
Aturan Mempersenjatai Pilot Melawan Terorisme ditandatangani menjadi undang-undang pada November 2002, dan pada April berikutnya, pilot mulai diizinkan membawa senjata dalam penerbangan.
Keluat masuk ke kokpit untuk selfie bersama pilot menjadi mimpi yang tak lagi bisa terwujud.
Dampak langsung dari 9/11 termasuk penurunan besar dalam pemesanan penerbangan. Tidak hanya kepercayaan penumpang yang terpukul, tetapi adanya keamanan tambahan berarti pengalaman terbang tidak lagi mudah.
Pada tahun 2006, Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) memperkirakan bahwa pendapatan maskapai penerbangan dari penerbangan domestik AS turun sebesar US$10 miliar per tahun antara tahun 2001 dan 2006.
Sebagai perbandingan, kerugian bersih secara global akibat pandemi Covid pada tahun 2020 adalah total US$126,4 miliar, menurut IATA.
Dalam sebuah studi dari tahun 2005 tentang dampak 9/11 pada dunia penerbangan, Garrick Blalock dari Cornell University, Vrinda Kadiyali dan Daniel H. Simon menemukan peningkatan jumlah pelancong yang memilih untuk mengemudi daripada terbang.
Konsekuensi yang tidak diinginkan dari ini adalah bahwa "kematian mengemudi meningkat secara signifikan setelah serangan teroris 11 September 2001."
Mereka memperkirakan bahwa total 1.200 kematian saat mengemudi naik dalam lima tahun terakhir disebabkan oleh efek 9/11.
Berbicara kepada CNN menjelang peringatan 20 tahun 9/11, Kadiyali mengatakan, "Konflik di Afghanistan membuat orang-orang berpikir dua kali lagi untuk terbang sekarang"
Penundaan, antrean panjang, dan kebingungan terkait pembatasan juga kembali menjadi kekhawatiran terbang di era pandemi.
Mengenai apakah sesuatu seperti 9/11 bisa terjadi lagi, O'Keefe mengatakan pembicaraan tersebut mungkin tak bisa dibagi dengan lugas kepada masyarakat umum.
"Kekhawatirannya sekarang ialah bagaimana jika teroris mempelajari sistem keamanan yang saat ini sudah diterapkan, dan mereka kembali melampaui kita," pungkasnya.